Minggu, 27 Juni 2010

Integrasi dan Konflik Dalam Kelompok Kecil

Struktur masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional. pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal.

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Van den Berghe, yakni sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk yaitu :
1.terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
2.memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4.secara relatif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
6.adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Oleh karena sifat-sifat yang demikian itulah maka van den berghe telah menyatakan kepada kita betapa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalarn salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disarnakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan pula dengan masyarakat yang mcmiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok, yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Yang disebut kedua, sebaliknya, merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan, akap lapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Di dalam keadaan yang demikian, menggunakan terminologi Emile Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan diantara bagian-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Hal yang demikian juga berarti bahwa jawaban para penganut fungsionalisme struktural terhadap pertanyaan tentang “faktor apa yang mengintegrasikan suatu masyarakat", masih harus dipertimbangkan validitasnya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.

Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, oleh karena tanpa keduanya suatu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. akan tetapi sifat-sifat masyarakat majemuk sebagaimana yang kita sebutkan di atas, telah menyebabkan landasan terjadinya integrasi sosial seperti yang dikemukakan oleh para penganut fungsionalisme struktural hanya dapat berlaku didalam derajat yang sangat terbatas. segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primodial dengan sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik-konflik diantara kesatuan-kesatuan sosial tersebut. dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang mungkin terjadi yakni : (1) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis, dan (2) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politis. pada tingkat yang bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud didalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh serta menjadi ideologi dari berbagai-bagai kesatuan sosial. pada tingkatnya yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya didalam masyarakat. didalam situasi politik, maka sadar atau tidak setiap pihak yangberselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas kedalam diantara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama : mendirikan sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing didalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.

pandangan para penganut pendekatan konflik tersebut memperoleh kebenarannya terutama didalam konteks masyarakat indonesia pada masa penjajahan, dimana sejumlah amat sedikit orang-orang kulit putih (melalui kekuatan militer dan kekuatan politiknya) menguasai sejumlah besar pendapatan nasional. didalam derajat tertentu pandangan tersebut juga memiliki kebenarannya untuk melihat keadaan masyarakat indonesia sesudah zaman kemerdekaan, dimana kelemahan-kelemahan daripada mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial selama ini telah mengundang hadirnya kesatuan atau kekuatan sosial yang dominan untuk sedikit banyak memaksakan kekuasaanya untuk menjamin agar sistem sosial tetap dapat berfungsi. dalam pada itu pandangan para penganut fungsionalisme struktural di atas itupun memiliki kebenarannya sendiri, oleh karena itu bagaimanapun juga pemaksaan tersebut akan tetap berbeda di dalam batas konsensus masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. di luar itu maka hubungan-hubungan kekuasaan akan melahirkan terjadinya perpecahan atau bahkan hancurnya masyarakat indonesia. atas kenyataan-kenyataan itulah maka sejak awal penulis telah mengambil sikap untuk mempertemukan kedua pendekatan tersebut dalam suatu sintesis.

Apabila kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural, mulai dari Aguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parsons dan para pengikutnya, maka faktor yang mengintegrasikan masyarakat indonesia tentulah berupa kesepakatan para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. mengikuti pandangan parsons, maka kelangsungan hidup masyarakat indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang Indonesia, akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi.

Mengikuti pemikiran R.William Liddle, konsensus nasional serupa itu, pada hakikatnya merupakan konsensus nasional yang menjadi prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh.

Menurut Liddle, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang, apabila :
1.sebagian besar anggota suatu masyarakat bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka menjadi warganya.
2.apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah tersebut

Dengan kata lain, suatu integrasi nasional yang tangguh hanya akan berkembang di atas konsensus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut. Yang pertama merupakan kesadaran dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan warga dari suatu bangsa, suatu kesadaran nasional yang membedakan apakah seseorang termasuk sebagai warga negara dari suatu bangsa atau tidak. Yang kedua merupakan konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, suatu konsensus nasional mengenai “sistem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial diantara para anggota suatu masyarakat bangsa. Oleh karena sistem nilai, sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx Weber, merupakan dasar pengesahan (legitimacy) daripada struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan, pada akhirnya akan merupakan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa. Dari apa yang telah kita ungkapkan di atas, jelaslah bahwa pengakuan bertumpah darah satu, tidak perlu disangsikan lagi baru merupakan konsensus nasional pada tingkat pengakuan masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan masyarakat politik.

Dalam pada itu, konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara. Pertama, pancasila sebagaimana halnya dengan nasionalisme yang tumbuh di kebanyakan negara-negara bekas jajahan, pada hakikatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat indonesia. ia meliputi toleransi dan akomodasi timbal balik dalam bidang kesukuan, keagamaan, kedaerahan, dan pelapisan sosial. Ketiga, pancasila pada hakikatnya merupakan perumusan tekad bersama bangsa indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip pancasila tersebut kemudian diturunkan, atau dijabarkan kedalam bentuk norma-norma hukum berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Selaku demikian, maka Pancasila telah menjadi faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia.

Sementara pancasila beserta dengan peraturan perundang-undangan yang diturunkan daripadanya masih belum sempat sepenuhnya terisolasi ke dalam jiwa sebagian besar para anggota masyarakat indonesia, maka selama itu integrasi masyarakat indonesia tidak atau belum akan mencapai tingkatnya yang tangguh. Di dalam keadaan yang demikian, maka orang masih lebih mudah terisolasi ke dalam kesatuan-kesatuan primodial yang telah hidup berabad-abad lamanya, daripada ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nasional. Oleh karena itu setiap kesatuan primodial tersebut memiliki sistem nilai yang berbeda-beda , maka orang akan cenderung menafsirkan berbagai masalah nasional, termasuk penafsiran lebih lanjut daripada pancasila itu sendiri, dari sudut sistem nilai yang dipeluknya, suatu hal yang menyebabkan konflik menjadi fenomena yang bersifat laten di dalam masyarakat indonesia.

Pada tingkat ideologis, konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar di antara berbagai-bagai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal. Universalisme dan ajaran tentang “keselamatan” dari golongan santri, misalnya adalah ajaran berbeda benar dengan pragmatisme dan relativisme dari golongan abangan di jawa. Golongan santri sebaliknya, menuduh orang-orang abangan sebagai kaum musyrik yang menduakan Tuhan. Sekalipun hampir semua aliran kebatinan menganggap dirinya sebagai aliran islam sejati, namun di dalam pandangan golongan santri semuanya itu sesungguhnya adalah islam yang palsu.

Dalam pada itu golongan santri, dan dalam hal tertentu juga golongan abangan, seringkali memandang orang-orang Kristen sebagai pemeluk agamanya orang-orang kulit putih. mereka seringkali menganggap orang-orang kristen senantiasa ingin berusaha meng-kristenkan orang-orang abangan, yang betapapun juga mereka anggap sebagai orang-orang islam.

Konflik ideologis memang lebih mudah disimak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama. akan tetapi oleh karena perbedaan-perbedaan agama seringkali bertemu juga dengan perbedaan suku-bangsa, maka konflik yang demikian sedikit banyak terdapat juga di antara berbagai suku-bangsa, apalagi jika diingat bahwa perbedaan tradisi adat bukan sedikit terjadi diantara berbagai-bagai suku bangsa. Dalam keadaan konflik yang terbuka benar-benar telah terjadi, maka sentimen keagamaan seringkali bertemu dengan sentimen kesukuan.

Sementara itu konflik ideologis antara lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elit, yang biasa disebu juga sebagai lapisan priayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal dikota, pada umumnya memandang lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang bodoh, kurang berpendidikan, tradisional, dan tidak bergairah dalam mengikuti perubahan-perubahan. Lapisan wong cilik sebaliknya tidak jarang memandang lapisan elit sebagai lapisan orang-orang yang korup, dan tidak hormat kepada tradisi yang lama. Sementara itu kemerdekaan Indonesia tahun 1945 tidak hanya membawa perubahan-perubahan struktur beserta dengan perubahan-perubahan hubunganh-hubungan kekuasaan antara lapisan elit dan lapisan bawah masyarakat Indonesia. Demokrasi, keadilan, kemakmuran yang merata, merupakan beberapa aspirasi baru yang melonjak secara revolusioner bersamaan dan mengikuti terjadinya revolusi kemerdekaan.



INTEGRASI MASYARAKAT DAN NASIONAL

Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga-lembaga dan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan, berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama dijunjung tinggi.

Integrasi masyarakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi konflik, dominasi, mengdeskriditkan pihak-pihak lainnya dan tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan

Perlu dicari beberapa bentuk akomodatif yang dapat mengurangi konflik sebagai akibat dari prasangka, yaitu melalui empat sistem, diantaranya ialah :
1.Sistem budaya seperti nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
2.Sistem sosial seperti kolektiva-kolektiva sosial dalam segala bidang
3.sistem kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan (persepsi), perasaan (cathexis), pola-pola penilaian yang dianggap pola-pola keindonesiaan, dan
4.Sistem Organik jasmaniah, di mana nasionalime tidak didasarkan atas persamaan ras.



EKSISTENSI DARI KONFLIK DALAM KELOMPOK

Konflik mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar dan perang. Dasar konflik berbeda-beda.

Dalam hal ini terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu :
1.terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagiam yang terlibat dalam konflik
2.unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan.
3.terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.

Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai pada ruang lingkup yang paling besar yaitu masyarakat :
1.Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang antagonistik dalam diri seseorang
2.Pada taraf dalam kelompok, konflik-konflik ditimbulkan dari konflik-konflik yang terjadi di dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-niali dan norma-norma, motivasi-motivasi mereka untuk menjadi anggota-anggota kelompok dan minat-minat mereka
3.Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma kelompok lain di dalam masyarakat tempat kelompok yang bersangkutan berada.

Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik antara golongan-golongan di dalam masyarakat indonesia berubah menjadi tidak bersifat eksklusif lagi. perbedaan suku bangsa- yang pada masa penjajahan lebih merupakan perbedaan ras- tidak lagi jatuh berhimpitan dengan perbedaan-perbedaan agama, daerah, dan pelapisan sosial. perbedaan antara suku-bangsa jawa dan suku-suku bangsa lainnya tidaklah dengan sendirinya merupakan perbedaan antara golongan islam santri, islam abangan, maupun kristen. Dalam pada itu mereka yang berbeda suku-suku bangsa dan agamanya, juga tidak senantiasa dengan sendirinya memiliki perbedaan daerah serta lapisan sosial tempat identifikasi diri ditujukan. para menteri anggota kabinet yang pernah memerintah Indonesia dapat kita saksikan berasal dari berbagai suku-bangsa, agama, dan daerah yang ada di indonesia, seperti halnya lapisan petani, pedagang, buruh, pegawai negeri, dan tentara juga berasal dari suku-bangsa, agama, dan daerah yang berbeda-beda.

Dengan perkataan lain, perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang-menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat saling menyilang pula. Cross-cutting affiliations yang demikian telah menyebabkan konflik-konflik antara golongan di indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam. konflik suku-bangsa, misalnya, akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas agama, daerah, dan pelapisan sosial dari para anggota suku-bangsa yang terlibat di dalam pertentangan tersebut.

Demikian juga sebaliknya apabila yang terjadi adalah konflik antar agama, daerah, dan atau lapisan sosial. oleh karena Cross-cutting affiliations senantiasa menghasilkan Cross-cutting loyalities itulah maka sampai pada suatu tingkat tertentu masyarakat indonesia juga terintegrasi di atas dasar tumbuhnya perbedaan-perbedaan suku agama, rasa, daerah, dan pelapisan sosial yang bersifat silang-menyilang (Cross-cutting). adalah oleh karena kurang dimilikinya sifat-sifat itulah maka konflik antara golongan Tionghoa dengan golongan-golongan lain yang biasa disebut golongan pribumi itu mudah sekali menyala menjadi konflik yang dapat menumpahkan darah dan memusnahkan harta benda. namun demikian, oleh karena jumlah mereka yang tidak terlalu besar, keadaan itu tidak mengurangi besarnya peranan, struktur kemasyarakatan yang bersifat silang menyilang (Cross-cutting) sebagai faktor yang mengintegrasikan masyarakat indonesia. bersama-sama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat indonesia yang bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, kendati ia pun harus mengarungi samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.


Literatur :
• Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, FISIPOL UGM

( 0 komentar:

Posting Komentar