Sabtu, 11 Juni 2011

Elite dan Kepemimpinan

Elite Dan Kepemimpinan (Konsep Elite, Konsep Massa, Konsep Tokoh, dan  Kepemimpinan Sejati)

1. Konsep Elit

Setelah Perang Dunia I teori-teori tentang elit, kelompok dan kekuasaan tampaknya telah demikian diganderungi di Amerika. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai teori yang paling canggih. Teori elit misalnya menegaskan bahwa iaIah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam2 kategori yang luas yang mencakup:

(1) Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan

(2) Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

Meskipun pada mulanya teori ini diperuntukkan untuk Eropa Barat dan Tengah sebagai kritik terhadap demokrasi dan sosialisme, tapi oleh sejumlah ilmuwan Amerika ia diserap dengan baik untuk menjelaskan proses-proses politik yang ada di negara mereka dan negara-negara demokratis lainnya.

Konsep dasar teori yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the ruling class) selain ada elit )yang berkuasa (the ruling elite) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini, Massa memegang sejenis kontrol jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya. Kendati penganut teori group mengemukakan bahwa elit tidak perlu merupakan suatu kelompok yang patlu tetapi dapat berisikan sejumlah kelompok sosial, tapi seorang harus menerima kenyataan bahwa setiap masyarakat mempunyai sejumlah besar kelompok yang senang menggeluti kekuasaan dan menguasai kelompok yang lain. Merekalah yang terlibat di dalam proses pengimbangan atau pengendalian terhadap yang lain, sehingga berbagai kepentingan dari pelbagai pengikut kelompok bisa terpelihara. Dengan demikian, politik sudah bisa dipahami walau hanya dalam konteks interaksi berbagai kelompok. Karena itu teori (politik) kelompok bisa menjelaskan secara baik fungsi-fungsi negara dan masyarakat.

Apa yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) ada dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik, menurut mereka merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna menemukan, ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka upaya pun mereka lakukan untuk memindahkan penekanan dari para elit: dan kelompok kepada individu. Politik, sebagaimana telah dijelaskan, merupakan studi tentang siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana.

Apabila seseorang mulai mendalami teori-teori ini, dia akan mengetahui bahwa di belakang teori-teori kelompok dan elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya. Mengkaji kekuasaan tanpa didukun, oleh dasar konsepsual yang memadai, menurut Meehan, akan menjadikan teori-teori elit dan kelompok kehilangan artinya. Tujuan politiklah yang memaksa dan mendorong individu untuk membentuk kelompok-kelompok serta mengaktualiasikan dirinya di dalam kelompok-kelompok tersebut. Renzo lereno menulis bahwa teori elit telah mengurangi ruang-lingkup studi tentang politik pada pembahasannya atas studi tentang hubungan kekuasaan saja, dan Roy Macridis juga menegaskan hal yang sama tentang analisa kelompok dengan menggambarkannya sebagai "suatu bentuk determinisme yang kasar". Kepentingan, katanya, merupakan kekuatan pendorong yang utama dan tiap tindakan manusia didasarkan atas pemilikan kepentingan. Konfigurasi kekuasaan pada dasarnya adalah konfigurasi kepentingan-kepentingan yang berjuang dan berlomba, yang terorganisasikan dalam kelompok. Jika kekuasaan terbukti sebagai prinsip yang kurang memadai untuk memahami politik, maka teori elit, seperti halnya teori kelompok, akan runtuh bersama teori kekuasaan. Sekalipun ia gagal untuk menjelaskan. fenomena politik secara memuaskan, tapi teori-teori tersebut sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk mengusahakan pengkategorian secara deskriptif.

Teori Elit Politik

Mulanya "teori elit politik", lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun 1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C. Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol). Pareto (1848-1928)" percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang, terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya dan juga pandai, yang mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.

Awal Munculnya Teori (Elit Politik)

Konsep pergantian (sirkulasi) elit juga dikembangkan oleh Pareto. "Sejarah", katanya, "merupakan suatu pekuburan aristokrasi". Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tak dapat. ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan, suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior pada kelompok-kelompok (yang lain). Ini menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Dan akibatnya, keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu. Kiranya inilah yang menjadi perhatian utama Pareto. Pada bagian lain ia juga mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian: (1) di antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri, dan (2) di antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan: (a) individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada, dan/atau (b) individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kearah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit. Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep "residu"nya. Konsep tersebut didasarkan pada perbedaan yang digambarkannya terjadi di antara tindakan yang "logis" dan "non-Iogis" (lebih daripada "rasional" dan "non-rasional") dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Yang dimaksudkan dengan tindakan yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan­tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Yang dimaksudkan dengan tindakan non-Iogis adalah tindakan-tindakan yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut. Yang dimaksudkan dengan "residu" sebenarnya adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar "residu" dia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu "Kombinasi" dan residu "Keuletan bersama" dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya.

Residu "kombinasi" dapat diartikan sebagai kelicikan dan residu "keuletan bersama" berarti kekerasan, menurut pengertian yang sederhana. Pareto juga telah menggambarkan ke dua elit tersebut sebagai para "spekulator" dan para "rentenir". Perilaku mereka menunjukkan karakteristik yang mirip dengan cara yang dikedepankan Machiaveli dalam membentuk klik•klik pemerintah sebagai "rubah" dan "singa". Terdapat dua tipe elit, yaitu mereka yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa. Di dalam usahanya untuk mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan mereka, elit-elit ini melakukan "penyerapan" ("derivation") atau menggunakan mitos-mitos yang mereka ciptakan untuk mengelabui Massa. guna memperalatnya. Dengan kata lain "penyerapan" adalah cara-cara di mana tindakan-tindakan yang ditentukan oleh residu dirumuskan guna memahami munculnya tindakan-tlndakan yang logis. Ketertarikannya dalam masalah ini, seperti halnya ketika dia membahas keseimbangan sosial, menambah keyakinan Pareto akan penting­nya sirkulasi elit dari waktu ke waktu. "Revolusi", tulisnya, merupakan akibat adanya akumulasi dalam masyarakat kelas atas - baik karena seretnya sirkulasi dalam kelas maupun sebab lain yang menyangkut unsur-unsur yang merosot dan tidak lagi memiliki residu yang memadai guna menjaga kekuasaan mereka, atau berkurangnya penggunaan kekerasan sementara pada waktu yang bersamaan dalam elemen-elemen masyarakat. strata bawah yang menyangkut kualitas superior mulai maju dan berkemauan untuk menggunakan kekerasan. Jelaslah bahwa Pareto telah menegaskan pentingnya kapasitas serta kemauan pada elit yang berkuasa untuk menggunakan kekerasan.

Di samping Pareto yang mengembangkan teorinya atas daaar keahliannya sebagai sosiolog dan psikolog, Gaetano Mosca (1858­1941)9, yang lebih jauh mengembangkan teori elit politik seperti halnya konsep m.engenai pergantian elit, pada dasarnya adalah seorang ilmuwan politik. la menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi yang telah dipakai sejak zaman Aristoteles, dia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Dalam semua masyarakat, dari yang paling giat mengembangkan dirl serta telah mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat -- selalu muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu, kelas yang memerintah dan kelas yang diperin­tah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama, dalam masalah yang saat ini kurang lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik. "Semakin besar suatu masyarakat politik" tambahnya, "semakin kecil proporsi yang memerintah untuk diatur oleh, dan Makin sulit bagi kelompok mayoritas untuk mengorganisir reaksi mereka terhadap kelompok minoritas tersebut".

Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan teori pergantian elit. Karakteristik yang membedakan elit adalah "kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik", sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang­orang di luar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elit yang berkuasa, tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Mosca tidak saja mengajukan alasan psikologis sebagai­mana yang dikedepankan Pareto, tetapi juga alasan-alasan sosio­logis. Dia menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan persoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elit. Mosca tidaklah setajam Pareto dalam membahas masalah idealisme dan humanisme serta pandangannya terhadap masalah penggunaan kekuatan boleh dikatakan sederhana.

Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan cara yang terorganisasi, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dari individu-indiviuu yang superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan kelompok-kelompok sosia! yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran "kekuatan sosial" tertentu. Ekspresi yang digunakannya bagi elit bukan pemerintahnya Pareto, dalam mengimbangi dan membatasi pengamh "kekuatan sosial lainnya", Mosca memperkenalkan konsep "sub-elit" yang pada prakteknya berisikan seluruh kelas menengah baik dari para pegawai sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa serta menganggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. "Stabilitas organisme politik apa pun", tulisnya, "tergantung pada tingkat moralitas, kepandaian dan aktivitas yang diusahakan oleh lapisan ke dua ini.

Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai "formula politik". Formula politik ini sama dengan "penyerapan"nya Pareto. Dia percaya bahwa dalam setiap masyarakat, elit yang memerintah mencoba menemukan basis moral dan hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan serta mewakilinya sebagai "konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin-doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal dan diterima. Formula politik mungkin tidak dapat, dan biasanya memang tidak, membentuk kebenaran absolut. Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang dapat diterima oleh masyarakat. Mosca belum siap menerima kenyataan bahwa tak ada sesuatu pun selain perwakilan yang sederhana dan jelas yang dengan cerdik diatur oleh kelas penguasa untuk menipu massa ke dalam keragu-raguan. Kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, meskipun dirumuskan sesuai kepentingannya sendiri, dikemukakan dalam bentuk yang sebaliknya dengan maksud memberikan kepuasan moral dan hukum yang terkemas di dalamnya. Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambakan suatu perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya bahwa orang hams diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan fisiko Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga, lembaga politik,rakyat dan peradaban. Oleh karenanya Mosca memahaminya sebagai suatu instrumen kohesi moral.

2. Konsep Massa

Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.

a. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskol\p dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).

b. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri:

1) Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.

2) Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya.

3) Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar.

c. Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience.

Untuk lebih menekankan pentingnya teori elit politik, Ortega Y. Gasset (1833-1955) mengembangkan teorinya tentang massa. Menurut Ortega, kebesaran suatu bangsa tergantung pada kemampuan "rakyat", "masyarakat umum", "kerumunan", "massa" untuk menemukan "simbol dalam orang pilihan tertentu, kepada siapa mereka mencurahkan segala antusiasme vital mereka yang sangat luas". "Orang terpilih" adalah orang-orang yang terkenal dan merekalah yang membimbing "massa", yang tidak terpilih seperti mereka. "Satu orang adalah efektif dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan", tulis Ortega, "tidak terlalu banyak jumlahnya karena kualitas individunya serta juga karena energi­energi sosial yang telah dipasrahkan oleh massa padanya. "Suatu bangsa merupakan suatu massa manusia yang terorganisasi, yang disusun oleh suatu minoritas individu yang terpilih. Bentuk hukum yang akan dipergunakan suatu negara dapat berupa hukum yang demokratis atau yang komunis, tetapi kehidupan dan konstitusi ekstra-Iegal-nya akan senantiasa mengandung pengaruh dinamis dari suatu minoritas yang bertindak di atas massa. Hal ini merupakan hukum alam, dan sepenting biologi pada badan sosial seperti hukum kepadatan dalam ilmu fisika. "Kenyataan sosial yang utama", tulisnya lebih jauh, "adalah organisasi yang mengarahkan dan memadu manusia. Ini menunjukkan ada kemampuan untuk memimpin; dan ada kemampuan untuk dipimpin". Massa bergolak ketika aristokrasi menjadi korup dan tidak efisien, dan dorongan yang ada di belakang revolusi tersebut bukanlah keberatan mereka untuk diperintah oleh aristokrasi tetapi keinginan untuk diperintah oleh aristokrasi yang lebih berkompeten. "Sekali tak ada minoritas yang bertindak terhadapsuatu massa kolektif, dan massa tahu bagaimana caranya masuk ke dalam suatu minoritas, maka tidak akan ada masyarakat, atau yang mendekati hal itu". Ketika massa dalam suatu negara percaya bahwa mereka dapat berjalan tanpa aristokrasi, maka keruntuhan bangsa tak terhindarkan. Dalam kebingungannya, massa kembali akan berpaling pada kepemimpinan yang baru, yang mungkin akan memunculkan aristokrasi baru pula. "Sejarah menunjukkan pasang surut yang abadi di antara dua jenis permulaan-periode di mana aristokrasi dan masyarakat sedang dibentuk, dan periode-periode dalam mana aristokrasi yang sama tersebut merosot dan masyarakat lebur bersama mereka.

Partisipasi Politik dan Sosialisasi Politik

Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam mewujudkan berbagai kepentingan dan kebutuhan para anggota masyarakat seringkali harus bertabrakan dengan kepentingan dan kebijaksanaan negara. Benturan ini boleh jadi mencakup segala kepentingan anggota- anggota masyarakat, termasuk pula keinginan untuk partisipasi dalam masalah-masalah politik. Tegasnya, kebutuhan para anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah politik tidak jarang berbenturan atau bertolak belakang dengan kekerasan politik-yang dimiliki negaranya. Dalam pandangan banyak ahli, adanya benturan kepentingan semacam ini sangat erat kaitannya dengan tingkat spesialisasi politik yang dikembangkan negara yang bersangkutan.

Barangkali tidak ada yang bisa membantah kalau dikatakan bahwa negara pada dasarnya mempunyai kekuasaan fisik untuk memaksa para anggota masyarakatnya agar menuruti kepalsuan politiknya. Namun, tidak jarang muneul himbauan agar pemakaian kekuasaan fisik itu dibatasi oleh aturan-aturan yang tegas sehingga pemegang kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang atau bahkan menyimpang dari kepentingan umum.

Berbicara masalah kekuasaan, Robert Mac Iver, telah menggambarkannya sebagai suatu bentuk piramida, di mana dalam berbagai manifestasinya kekuasaan yang satu seringkali terbukti lebih unggul dibanding kekuasaan lainnya. Ini berarti, bahwa kekuasaan yang satu itu lebih kuat at au unggul dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, struktur piramida kekuasaan umumnya terbentuk karena golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu senantiasa lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan golongan yang dikuasai dan yang diperintah.

Atas dasar itu, tidak salah kalau Gaetano Mosca pernah melontarkan dalilnya yang sangat terkenal, bahwa "The many are ruled by the few", yang dalam kenyataannya bisa ditemukan di mana saja, baik di negara­negara demokrasi ataupun di negara-negara yang menerapkan gaya diktatoria!.

Di antara berbagai bentuk kekuasaan, sangat boleh jadi kekuasaan politik menempati salah satu kedudukan dominan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Hal ini wajar mengingat sifat yang melekat dalam politik itu sendiri boleh dikatakan mencakup segala aspek kehidupan manusia. Yang terakhir ini barangkali sejalan dengan pemikiran Roger H. Soltau yang menandaskan bahwa "Politics is the concern of everybody with any sense of responsibility.

Menurut kebanyakan ahli kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang dan mempunyai hak untuk mengendalikan berbagai perilaku sosial dengan paksaan. Dengan demikian bisa diartikan, bahwa kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempe­ngaruhi kebijaksanaan umum, baik pembentukannya maupun akibat yang diharapkan oleh pemegang kekuasaan.

Kekuasaan politik tidak hanya meliputi kekuasaan untuk memaksakan ketaatan warga masyarakatnya, tetapi juga menyangkut pengendalian warga masyarakat tersebut untuk mempengaruhi tindakan ak­tivitas negara di bidang administrasi, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian berarti, bahwa anggota masyarakat suatu negara mempunyai hak-hak tertentu yang juga harus diperhatikan oleh negara melalui aktivitas pemerintahannya.

Dalam hubungannya dengan hak-hak ini, Jellinek pernah mengajukan pembagian hak-hak ini berdasarkan dua tolok ukur yaitu pembedaan antara hak aktif dan pasif, serta hak positif dan negatif. Dengan hak aktif, seorang warga masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut serta secara aktif, baik langsung maupun tidaklangsung, dalam mengatur dan menyelenggarakan negara, sedangkan dengan hak pasif yang dimilikinya, seorang warga masyarakat bisa dipilih, ditunjuk, ataupun diangkat untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Sementara itu dengan hak positif yang melekat padanya, warga masyarakat akan menerima sesuatu dari negara dan pemerintahnya, sedangkan hak negatif seorang warga masyarakat: harus rela mengorbankan sesuatu untuk negara dan pemerintahnya. Dengan demikian jelas bahwa, tidak saja negara ataupun pemerintah yang mempunyai hak-hak tertentu terhadap anggota masyarakatnya, tetapi demikian juga sebaliknya. Di samping hak kepada setiap warga masyarakat juga dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu sebagaimana halnya negara atau pemerintah juga mengemban kewajiban-kewajiban tertentu terhadap warga masyarakatnya.

Salah satu hal yang sekaligus merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat yangerat hubungannya dengan hakatif tersebut di atas ialah apa yang dikenal dengan istilah partisipasi politik.

Dengan partisiasi politik diartikan sebagai usaha teroganisasi dari para warga negara untuk dipengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum. Dengan demikian partisipasi politik jelas tidak sama maknanya dengan mobilisasi yang digerakkan oleh golongan elite untuk pemenuhan kepentingannya sendiri. Dalam hubungan ini Myron Weiner pernah mensinyalir bahwa kendat.ipun banyak pemerintah mengatakan sebaliknya, namun kenyatannya tidak banyak negara-negara baru yang menganjurkan, atau malah menginginkan partisipasi politik.

Boleh jadi, apa yang dikatakan oleh Myron Wemer tersebut terlalu ekstrem. Meskipun relatif kecil dari segi jumlahnya, beberapa negara sedang berkembang telah mempunyai organisasi-organisasi yang mampu mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil oleh pemerintahnya.

Cukup lama berlangsung dalam sejarah, hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, untuk memberikan suara ataupun hak untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu delam pemerintahan telah dibatasi hanya untuk sekelompok kecil orang-orang yang berkuasa, kaya serta dari keturunan terpandang.

Gabriel A. Almond dalam bukunya Comparative Politics Today melihat bahwa kecenderungan ke arah partisipasi politik rakyat yang lebih luas bermula pada masa Renaisance dan Reformasi abad XVI sampai abad XVII, dan memperoleh dorongan kuat padaJaman Terang !.¥upun pada masa Revolusi Industri di sekitar abad XVIII dan abad XIX.

Konstatasi Gabriel A. Almond tersebut boleh jadi benar sepanjang ruang yang dipakai terbatas di Eropa dan sekitarnya, karena kedua aliran plkiran yang timbul dari kedua masa tersebut memang terbukti telah mempersiapkan orang-orang Eropa untuk menyelami masa Aufklarung dan menggalakkan Rasionalisme, yaitu suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja untuk selanjutnya lebih banyak mendasarkan pemikirannya kepada akal (rasio) semata-mata. Implikasi perjuangan tersebut adalah terbukanya jalur bagi pengembangan gagasan-gagasan baru dalam bidang politik. Di antara gagasan baru yang muncul, misalnya manusia dipandang mempunyal hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, atau gagasan-gagasan yang mendukung kemungkinan melontarkan kritik kepada raja.

Pada dasarnya, berbagai teori perjanjian masyarakat (kadang- kadang disebut kontrak sosial) yang muncul sebenarnya merupakan usaha mendobrak dasar-dasar pemerintahan absolut dan sekaligus menetapkan hak-hak politik rakyat.

Berbicara soal partisipasi politik, dirasakan kurang lengkap jika tidak disertai pertimbangan yang jelas tentang bagaimana partisipasi politik itu diwujudkan, atau lewat cara-cara apa saja partisipasi politik itu bisa dilaksanakan dengan efektif .

Gabriel A. Almond telah mencoba mengungkapkan secara garis besar bentuk-bentuk partisipasi politik yang pernah digunakan di berbagai negara. Dari berbagai bentuk yang sempat diinventarisasi, kemudian diklasifikasikan dalam dua pola yang umum sifatnya, yaitu pola konven­sional sebagai suatu bent uk partisipasi politik yang dianggap urn urn berlangsung dalam demokrasi moderen, serta pola partisipasi politik non konvensional, merupakan kebalikan dari bentuk yang pertama.

Menurut Gabriel A. Almond, bentuk partisipasi politik yang sudah dianggap sebagai bentuk normal atau yang sudah umum dalam demokrasi moderen adalah meliputi aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dalam kelompok kepentingan, atau pun melaksanakan komunikasi individual dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif.

Bentuk partisipasi politik yang berupa pemberian suara (voting), boleh jadi merupakan suatu bentuk yang paling umum digunakan dari masa lampau sampai sekarang, baik dalam masyarakat tradisional maupun yang moderen. Di samping itu pemberian suara ini boleh jadi merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling luas tersebar di berbagai masyarakat.

Bentuk partisipasi politik kepada sistem politik yang sedang berlangsung dalam suatu negara. Dengan kata lain, aktivitas pemberian suara tidak tergantung apakah negara yang bersangkutan menggunakan cara-cara demokrasi atau totaliter dalam pemerintahannya. Bagi negara yang bersistem demokrasi, persoalan partisipasi politik dalam bentuk pemberian suara ini bukanlah persoalan yang rumit, karena aktivitas pemberian suara selaras dengan sikap demokrasi itu sendiri. Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, misalnya, pernah mengatakan bahwa demo­krasi memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk mengadakan eksperimen, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, untuk berserikat dan untuk berkumpul, meru­pakan hak-hak politik sipil yang sangat mendasar di samping adanya penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan.

Tetapi, kendatipun masih ada kelemahan-kelemahan pada umumnya di negara-negara yang menganut sistem politik totaliter dikenal pula pemberian suara. Sekedar ilustrasi, Uni Soviet yang bisa dipakai sebagai model negara totaliter nomer satu di dunia, ternyata masih memberikan kesempatan kepada para warganegaranya untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, kendatipun dalam prakteknya hanya menyediakan satu alternatif pilihan, sehingga tidak heran kalau banyak orang yang mengatakan pemilihan umum tersebut tidak lebih dari alat penguasa dan bukannya alat untuk memilih siapa yang seharusnya menjalankan kekuasaan itu.

Adanya kenyataan semacam ini tidak mengherankan jika dikembalikan kepada sifat dasar Komunisme yang menjadi landasan ideologi politik di Uni Soviet. Salah satu sifat dasar komunisme adalah membuat perubahan sosial sebagai tujuan utama dengan mengerahkan segala peralatan negara industri moderen, seperti teknologi, pendidikan, atau­pun media komunikasi untuk mempercepat proses tersebut. Dalam hubungan ini ada tujuan yang tercakup di dalamnya, yaitu maju secepat mungkin ke arah tujuan yang luhur sebagaimana yang telah dirumuskan oleh pimpinan mereka, dan membuat masyarakat bergerak terus se­hipgga kelompok-kelompok non- partai kurang mendapat peluang un­tuk memantapkan dirinya. Bertitik-tolak dari pemikiran semacam itu Komunisme menolak pandangan atau paham Trias Politika yang diang­gap terlalu borjuis.

Penolakan Komunisme terhadap ajaran. Trias Politika, sebenarnya didasarkan suatu pandangan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat yang dianggap mempunyai suatu kemauan yang tunggal dan luhur. Ke­mauan yang tunggal dan luhur tersebut akan dicerminkan atau diwujud­kan dalam Badan Perwakilan Rakyat. Dalam pandangan Komunisme, ajaran dan praktek Trias Politika telah mengekang kekuasaan rakyat yang berdaulat dan tidak demokratis. Berdasar pemikiran ini secara formal Badan Perwakilan Rakyat di Uni Soviet merupakan alat ke­kuasaan yang tertinggi yang sekaligus mempunyai kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Bentuk partisipasi politik yang berupa diskusi-dikusi umumnya berlangsung di negara-negara dengan sistem politik demokratis dan jarang bisa dilaksanakan di negara-negara totaliter.

Diskusi politik sebagai perwujudan partisipasi politik dalam menyangkut pemikiran-pemikiran yang tersimpul dalam aktivitas diskusi itu sendiri. Dalam hal ini pengertian diskusi sudah terbatas ruang lmg­kupnya dengan pengertian politik yang menyertainya. Dengan demikian jelas bahwa diskusi politik adalah usaha-usaha yang dl1aksanakan oleh sekelompok warganegara untuk membicarakan dan memecahkan persoalan-persoalan politik negaranya, sekaligus ikut mencari alternatif pemecahannya. Namun demikian, biasanya diskusi politik, atau lebih tepatnya output yang dihasilkan baik berupa tuntutan tidak mengikat pihak penguasa. Dengan kata lain, diskusi politik hanyalah bersifat formal semata-mata.

Ditinjau dari sudut peserta yang ikut atau yang mampu melaksanakan bentuk partisipasi politik ini, tidak seluas bentuk partisipasi politik lewat pemungutan suara atau voting sebagaimana dijelaskan di atas, karena untuk bisa berpartisipasi sangat dibutuhkan ketrampilan-ketrampilan tertentu. Dengan kata lain, bentuk partisipasi ini hanya bisa dirasakan atau dilaksanakan oleh warga negara yang mempunyai tingkat intelektual tertentu. Sehubungan dengan konstatasi ini, Myron Weiner menegaskan: "Kaum intelektual, sarjana, filsuf, pengarang dan wartawan, senng mengemukakan idea-idea seperti egaliterisme dan nasionalis kepada masyarakat umum untuk membangkitkan tuntutan akan partlslpasl massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik.

Jadi jika dibandingkan dengan bentuk partisipasi politik lewat pemungutan suara, dari segi jumlah pesertanya saja jelas berbeda, karena hanya beberapa kalangan profesi saja yang bisa menikmatinya: Tetapi ditinjau dari segi hakekat nilai yang terkandung dalam diskusi politik.

Kegiatan kampanye sebagai suatu bentuk partisipasi politik, sudah umum dilaksanakan dalam negara-negara yang bersistem politik demokrasi, terlebih lagi dalam negara yang menganut asas Laissez Faire, seolah­olah kegiatan kampanye adalah rutin dan sifatnya umum serta meliputi berbagai bidang permasalahan. Kenyataan ini tidak mungkin ditemui di negara-negara yang menganut sistem totaliter.

Kegiatan kampanye, biasanya melibatkan sumber pendukung yang lebih besar seperti waktu, tenaga dan uang. Di sam ping itu, tidak jarang menjurus ke arah bentrokan fisik yang kemudian bisa mengarah ke situasi desintegrasi nasional.

Keikutsertaan rakyat dalam kelompok kepentingan untuk menyam­paikan tuntutan kepentingannya terhadap sistem politik, juga merupakan salah satu bentuk partisipasi politik konvensional.

Kelompok kepentingan yang dibentuk dengan tujuan untuk lebih memperkuat dan mengefektifkan tuntutan-tuntutan yang bersifat in­dividual itu telah ada dan berperan dalam kehidupan pOlitikdi sepanjang sejarah. Namun demikian perlu dicacat bahwa setiap sistem politik memiliki cara-cara tertentu dalam merumuskan dan menangani tuntutan yang dilontarkan warganegara melalui kelompok kepentingan tersebut.

Faktor-faktorPenunjang Partisipasi Politik

Meskipun sudah cukup lama dicanangkan, bahwa manusia pada hakekatnya merupakan insan politik, tetapi sampai sekarang ini masih ada masalah yang tetap menjadi bahan pembicaraan di kalangan para ahli, bagalmana.membawa manusia ke arah hakekat insan politik itu sendiri.

Erat kaitannya dengan permasalahan di atas, adalah adanya satu kenyataan bahwa manusia diakui mempunyai berbagai hak dan kewajiban dalam kehidupan politik negaranya, namun untuk mewujudkannya adalah subt, atau dalam beberapa sistem politik tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan baik.

Seiring dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan keinginan manusia dalam rangka mempertahankan eksisteqsinya negara juga memandang perlu menadkan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap ke­butuhan dan kemgman para warganegara tersebut demi eksistensi negara itu sendiri. Konsekuensinya seringkali kita melihat terjadinya benturan-benturan dl antara keduanya, yaitu antara dan kebutuhan Ket­nginan.masyarakat atau infra struktur dengan kebutuhan atau kemauan politik pemerintahnya atau supra struktur.

Sebagimana dikemukakan di atas, bahwa tiap-tiap negara dengan tidak melihat sistem politik yang dianutnya, mempunyai ruang dan atensi tersendiri terhadap kemungkinan-kemungkinan partisipasi politik warga negaranya. Dalam hubungan ini ada dua pola ekstrem yang memberi kemungkinan partisipasi politik ini, tergantung pada sistem politiknya.

Pola pertama, adalah yang biasa terjadi dalam sistem politik demokrasi. Dalam pola ini dengan tidak memandang ciri-ciri; demokrasi yang pada dasarnya juga bermacam-macam, secara konseptual ada kemungkinan yang besar akan partisipasi politik warganegaranya. Pola kedua, adalah terjadi di negara-negara yang bersistem politik otoriter, yang pada prinsipnya kurang memberikan tempat bagi partisipasi politik warga­negara. Hal ini terjadi karena negara-negara yang bersistem politik demikian memandang akibat politik dari partisipasi ini merupakan awal dari situasi desintegrasi nasional yang tidak diinginkan.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sistem politik suatu negara boleh jadi merupakan faktor penunjang utama partisipasi politik warga negaranya.

Untuk mencari faktor-faktor lain yang ikut menunjang aktivitas par­tisipasi politik ini, bisa dilakukan dengan mengadakan dikotomi ler­hadap kehidupan bernegara Itu sendiri. Dari analisa semacam ini bisa dilihat adanya dua sektor kehidupan hernegara, yaitu sektor supra struk­tur, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah, dan sektor infra struktur yang dicerminkan oleh masyarakat atau seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Pemisahan ini memang erat kaitannya dengan pendekatan sistem dalam politik yang mendasarkan pada satu anggapan bahwa berbicara masalah sistem politik pada hakekatnya kita bicara ten tang dua hal, yaitu kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah.

Partisipasi politik dilihat dari sektor supra struktur, seperti telah diungkapkan di atas, pada umumnya berlandaskan pada sistem politik yang dianutnya. Sedangkan dari sektor infra struktur, meskipun tidak lepas dari sistem politiknya namun kondisi sosio- kultural masyarakat itu sendiri ikut menunjang partisipasi politik. Hal ini berdasar pada suatu analisa yang sudah dianggap wajar, bahwa kehidupan politik masyarakat tertentu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, melainkan mempunyai pertautan hubungan yang erat sekali dengan masyarakat, mengingat kehidupan politik suatu masyarakat tidak akan ada kalau masyarakat itu sendiri sebagai wadahnya tidak pernah ada. Berdasar pada dalil-dalil sosiologis, maka tinjauan terhadap masyarakat akan sampai kepada individu-individu yang membentuk masyarakat tadi, sehingga tiap-tiap individu akan merupakan point of view dari telaahan mengenai partisipasi politik.

Seperti telah diungkapkan di atas, tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang ingin diwujudkan oleh pemerintahnya. Dengan kata lain, dalam diri tiap-tiap individu tumbuh keinginan berpartisipasi dalam khasanah politik yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, sehingga akhirnya individu- individu itu sendiripun menjadi penunjang terhadap proses partisipasi politik tersebut.

3. Konsep Tokoh

Seorang tokoh tidak bisa lepas dari kepemimpinan. Kepemimpinan pada dasarnya mempunyai pokok pengertian sifat, kemampuan, proses dan atau konsep yang dimiliki oleh seseorang sedemikian rupa sehingga ia diikuti, dipatuhi, dihormati, dan disayangi oleh orang lain dan orang lain itu bersedia dengan keikhlasan melakukan perbuatan atau kegiatan yang dikehendaki oleh seseorang tersebut.

Kepemimpinan itu adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga orang tersebut mampu menggerakkan orang-orang melakukan perbuatan atau tindakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Berbicara masalah kepemimpinan tidak lengkap jika tidak membicarakan sekaligus subyeknya yaitu pemimpin, yaitu orang yang karena sesuatu sebab dapat memiliki kekuasaan, kewenangan, kewibawaan dan kekuatan lain serta dipatuhi dan diikuti oleh sekelompok orang. Di masyarakat terdapat dua jenis pemimpin, pertama pemimpin formal dan kedua pemimpin informal. Ditinjau dari segi kemasyarakatan,yang disebut pemimpin formal ialah orang-orang yang menduduki jabatan dalam pemerintahan, sedangkan pemimpin informal adalah orang­orang yang tidak menduduki jabatan pemerintahan, tetapi memiliki pengikut, dipatuhi, dan ditaati sekelompok orang. Secara populer sebutan demikian identik dengan sebutan "sesepuh" masyarakat. Faktor yang paling menonjol dalam diri pemimpin informal adalah kewibawaan. Dengan kewibawaan yang ada padanya itulah diikuti, ditaati serta dipatuhi oleh orang-orang. Kewibawaan terbentuk dari unsur-unsur yang bersifat rasional dan kejiwaan. Unsur rasional misalnya kelebihan dalam rasio (pikiran), fisik (kesehatan, ketahanan-stamina), sedangkan kejiwaan ialah meliputi budi-pekerti, kesederhanaan serta kepribadian. Derajat kelebihan pada 2 unsur pokok seringkali berbeda terutama dalam hal kejiwaan, karena dalam hal ini intensitasnya lebih labil daripada intensitas rasionaI. Manakala seseorang, dalam hal ini pemimpin, intensitas kejiwaannya berubah akan mempengaruni pada kewibawaannya. Kewibawaan berubah dalam hal ini menurun, ia akan kehilangan pengikut, tidak lagi dipatuhi dan dihormati.

Dalam bidang manajemen "wibawa" dapat disamakan dengan "authority" sesuai dengan pendapat Dr. Phil. Astrid S. Susanto sebagai berikut:

"Kapabilitas inilah yang akhirnya dikombmasikan dengan wewenang, kekuasaan yang dipakai secara bijaksana akan menghasHkanbahwa seseorang mempunyai wibawa atau authority".

Namun rasanya wibawa itu adalah sesuatu yang melebihi dari sekedar authority, karena ia lebih melekat pada pribadi seseorang, sedangkan authority dalam hubungan dengan organisasi, sewaktu-waktu dapat lepas dari orang yang bersangkutan. Terlepasnya authority dari seseorang tidak berarti hilangnya wibawa dari orang tersebut, meskipun wibawa yang dimiliki itu tidak lagi sepenuhnya "berlaku" di organisasi itu. Wibawa itu masih terasa pada mereka yang ditinggalkan dan pengaruhnya sewaktu-waktu masih cukup besar.

Wibawa dapat diperoleh setiap orang terutama para pemimpin, oleh karena sumber utama wibawa itu sesungguhnya ada pada diri pribadi. Masalahnya mampukah seseorang itu mengalirkan sumber itu sehingga bermanfaat menjadi "berwibawa". Sumber itu berupa sifat-sifat terpuji menurut ajaran Agama yang secara universial diakui oleh semua penganut Agama apapun. Sifat itu misalnya berlaku adil, jujur, dapat dipercaya dan lain-lain sebagainya dan sikap menjauhi 5 M dalam istilah ajaran moral suku bangsa Jawa (dari Wulang Reh), yaitu maling (mencuri, korupsi), madon (bermain dengan wanita yang bukan istrinya dan sebaliknya bagi wanita, main (berjudi dalam bentuk apapun), madat (mabuk-mabukan, ganja, morphin dan lain-lainnya) dan minum (minuman keras). Hal ini setiap orang sudah cukup mengetahui, akan tetapi kebanyakan tidak menyadari bahwa hal itu mempunyai hubungan erat dengan wibawa.

Orang berusaha untuk menumbuhkan wibawa pribadi, tetapi kurang menghayati adanya sumber yang harus digali, bahkan karena kurang kesadaran terhadapnya, orang sering menggunakan "kekerasan" untuk mencoba supaya "berwibawa". Mungkin untuk beberapa saat yang relatif singkat dapat berhasil, tetapi hal ini biasanya tidak dapat bertahan lama. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya seorang atasan suatu unit kerja yang selalu datang ke tempat kerja terlambat, suatu han memarahi habis-habisan bawahan yang datang terlambat bahkan si-bawahan ini dihukum dengan dipotong pendapatannya. Tindakan ini bukan suatu tindakan yang terpuji atau tindakan seseorang yang berwibawa melainkan tindakan seseorang yang berkuasa. Hasil tindakan itu tidak akan berlaku lama, bahkan dapat menimbulkan antipati dari bawahan.

Pengertian seorang tokoh menurut Mortimer R. Feinberg, Ph. D dalam bukunya Effective Psychology For Manager (diterjemahkan di bawah judul Psikologi yang Efektif oleh Drs. R. Turman Sirait) memiliki 12 ciri, ialah:

1. Menerima dirinya sendiri.

Artinya orang yang menyadari akan kelemahan atau kekurangannya atau kelebihan dirinya. Karena itu akan dapat menerima kritikan dari orang lain dan akan mencemakannya.

2. Menghargai orang lain.

Karena setiap orang mempunyai sifat, kecenderungan, kepribadlan, kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak akan sama, maka orang yang dewasa menghargai adanya perbedaan itu dan tidak akan mencoba untuk membentuk orang lam menurut atau sesuai dengan kemauan atau gambarannya.

3. Menerima tanggung jawab.

Orang yang sudah dewasa mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dalam mana dia berbuat dan berada. Sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya tidak akan dielakkan, bahkan secara jantan akan dipertanggungjawabkannya. Menerima tanggung jawab juga berarti menerima risiko atau tanggungjawab itu.

4. Percaya terhadap diri sendiri.

Orang yang tidak memiliki kepercayaan diri akan selalu khawatir terhadap kekuatan atau kemampuan orang lain. Padahal bagi orang yang mempunyai kepercayaan diri justru akan memanfaatkannya untuk keberhasilan dan kerjasama. Kepercayaan terhadap diri sendiri adalah modal kuat dalam ketabahan, ketekunan dan keteguhan dalam melaksanakan tugas pekerjaan, karena tidak ada rasa khawatir terhadap kawan, terutama dalam persaingan karir.

5. Bersifat sabar.

Orang yang dewasa belajar menerima kenyataan bahwa dalam beberapa masalah atau tugas tidak ada penyelesaian pemecahan yang mudah. Untuk itu diperlukan kesabaran, sebab dengan kesabaran itu sesuatu dapat terlihat. 'jernih' sehingga dalam pemecahan nantinya dapat dilakukan dengan tepat. Pemecahan yang dilakukan secara emosional dan tergesa­gesa pada umumnya tidak menguntungkan pekerjaan.

6. Mempunyai rasa humor.

Perasaan humor seseorang menyatakan sikap terhadap orang lain. Orang dewasa menggunakan humor bukan sebagai alat pemukul melainkan sebagai alat untuk menyegarkan suasana dan mengendorkan ketegangan.

7. Mempunyai ketabahan, keuletan dan daya tahan.

Seseorang yang dewasa dalam menghadapi musibah atau­pun masalah tidak secara emosional sehingga seperti kehilangan akal pikiran yang sehat, melainkan dengan ketabahan, keuletan dan daya tahan yang maksimal. Melalui cara-cara ini lah musibah dan atau masalah dapat diatasi dengan baik, tam­pak jalan luas dan lengang menuju keberhasilan berikutnya.

8. Dapat mengambil keputusan.

Orang yang dewasa dapat mengambil putusan atas suatu masalah meskipun data atau informasi sebagai bahan untuk pengambilan keputusan itu masih kurang lengkap atau. kabur. Dengan menggunakan pengalaman dan intuisi yang ada ia mampu memecahkan masalah dan mengambil putusan yang relatif tepat. Keputusan-keputusan yang diambil oleh seseorang, sebenarnya merupakan suatu tindakan untuk masa depan, di atas dasar perkiraan terbaik yang diperoleh. Peng­ambilan keputusan, tidak boleh menunggu kepastian yang menyeluruh karena kalau demikian halnya akan tertinggal oleh waktu yang sangat berharga.

9. Kepribadian terpadu (integrated personality).

Maksudnya ialah orang yang mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan menggunakan sistem prioritas dan keutuhan dalam cara menghadapi. Seseorang tidak mungkin memecahkan berbagai masalah secara bersama-sama tanpa menimbulkan konsekuensi frustasi atau putus asa. Masalah­masalah yang timbul harus dihadapi satu-persatu dengan kepribadian dan energi yang utuh, tidak terpecah belah.

Orang yang berkepribadian dewasa, bukanlah orang yang menyerah-nyerahkan dan memecah energinya menggunakan berbagai arah yang berlainan, apalagi bertentangan. Dia adalah orang yang teratur dengan pribadi yang terorganisir dalam menghadapi masalah.

10. Senang bekerja.

Seseorang yang dewasa dalam akal dan pikirannya akan mampu menikmati pekerjaan yang dilakukannya, karena ia dapat merasakan kepuasan dan bangga akan hasil pekerjaan itu. Kedewasaan akan membuat orang tekun dalam pekerjaan, meskipun mungkin pekerjaan yang dilakukan itu tidak cocok dengan bakat yang ada padanya. (Hal semacam ini banyak terdapat di lingkungan kerja). Bahkan sering terjadi pekerjaan itu dijadikan tempat pelarian atau tempat sembunyi dari problema-problema yang lain atau suatu kompensasi dari kedewasaan dalam kehidupan pribadinya. Ciri senang bekerja dengan sendirinya merupakan salah satu pertanda bahwa orang itu sudah dewasa. Sebaliknya orang yang bermalas-malas dalam pekerjaan hakikatnya ia belum dewasa, meskipun usia biologis telah menunjukkan angka pertengahan (± 40 tahun).

11. Mempunyai prinsip atau pendirian yang kuat.

Orang yang dewasa terbentuk dari pengalaman dan hasil penalaran yang cukup matang, mampu membentuk pribadi yang utuh dengan prinsip atau pendirian yang telah berurat­berakar. Keteguhan dalam prinsip atau pendirian penting dalam kehidupan, karena dengan demikian ia tidak akan terombang-ambing oleh berbagai pendapat, tekanim atau situasi lingkungan, sehingga selalu ragu-ragu dalam perbuatan dan tindakan.

12. Memiliki perasaan proporsi atau keseimbangan.

Orang yang dewasa mampu menjadi dirinya hidup dalam situasi yang seimbang, baik dalam keseimbangan kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis atau kedua-duanya. Orang yang hidup dalam keseimbangan pada umumnya akan menampakkan sifat-sifat Iahiriah, tenang, sabar dan sungguh-sungguh.

Gaya Kepemimpinan Seorang Tokoh

Kepemimpinan seorang tokoh yaitu kepemimpinan dari individu yang dijalankan dalam suatu organisasi kerja. Dengan demikian maka penyelenggaraan kepemimpinan manajemen dapat menjadi identitas atau ciri dari kelompok pimpinan secara utuh dalam menjalankan peranannya di dalam organisasi. Dalam penyelenggaraan kepemimpinan manajemen selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam, pribadi pemimpin, organisasi sendiri, maupun faktor dari luar. Dengan adanya berbagai pengaruh itulah maka timbul berbagai gaya dalam penyelenggaraan kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan manajemen seeara garis besar ada 2 kubu yang berlawanan. Yang pertama gaya dominatif, yaitu-gaya ''keras'' dalam memimpin. Tujuan dicapai dengan kekuasaan, kekerasan dan sedikit sekali memberikan hak kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan. Gaya dominatif ini ingin menunjukkan bahwa kekuasaan, kekuatan dan kekerasan-Iah yang dapat membawa keberhasilan dengan cepat serta dapat mengubah keadaan. Gaya dominatif memang sesuai untuk memimpin orang-orang yang berwatak keras atau dalam situasi perang, kekacauan atau di "dunia" kejahatan. Dalam jangka pendek gaya kepemimpinan ini dapat saja berhasil, namun secara jangka panjang sangat diragukan. Gaya kepemimpinan dominatif ini sering diterapkan dalam organisasi berdimensi satu tetapi langka untuk diterapkan dalam organisasi berdimensi tiga. Faktor penyebabnya ialah bahwa gaya dominasi dirasa kurang menghargai unsur manusia sebagai makhluk sosial yang menjadi unsur dalam kerjasama / organisasi.

Kubu lain dalam gaya kepemipinan ialah kepemipinan persuasif, yaitu kepemimpinan yang menyelaraskan tingkah­laku kepernimpinannya dengan situasi lingkungan dalam arti menciptakan perpaduan yang serasi untuk mencapai tujuan. Faktor manusiawi menjadi pertimbangan utama. Gaya demikian memang kurang tepat untuk situasi kacau, perang, penuh dengan kekerasan dan organisasi dimensi satu.

Bagi organisasi berdimensi tiga, gaya kepemimpinan persuasif ini tepat. Di antara dua kubu yang bertentangan itu terdapat dua sub kubu, yang dapat dipandang sebagai kubu peralihan. Dengan demikian gaya kepemimpinan ada 4 jenis, yang masing-masing dapat berdiri sendiri, atau rangkaian tahap dari yang lain. Ke 4 gaya tersebut oleh Rensis Likert disebut dengan Leadership`s Systems.

Gaya Kepemimpinan

Dimensi Tujuan Organisasi

Kubu

Jenis

Dominasi

1. Eksplotatif-Otoritatif

Dimensi Satu (Jangka Pendek)

2. Otoritatif

Dimensi Dua (Jangka Menengah)

Persuasif

3. Konsultatif

4. Partisipatif

Dimensi Tiga (Jangka Panjang)

Urutan angka di atas merupakan juga urutan tahap yang bermula dati gaya eksploitatif/otoritatif dan berakhir pada gaya partisipatif atau dari gaya tidak manusiawi menuju ke arah gaya manusiawi. Apabila hal ini dihubungkan dengan dimensi tujuan organisasi relevansinya memang tidak mutlak seperti pada daftar di atas. Artinya, meski organisasi berdimensi tiga, dapat saja terjadi gaya kepemimpinannya adalah eksploitatif­otoritatif, atau meski organisasi berdimensi satu, gaya kepemimpinannya dapat partisipatif. Hasil dari kedua misal di atas dapat dibayangkan yaitu misal pertama organisasi tidak akan berumur panjang, berhenti di tengah jalan, sedang pada misal kedua organisasi akan menghasilkan sesuatu yang lebih daripada yang direncanakan sebelumnya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk non fisik (psikologis). Apapun dimensi tujuan organisasi, gaya kepemimpinan yang dianjurkan adalah gaya yang termasuk dalam. kubu persuasif (jenis nomor 3 dan 4). Namun hal demikian itu tidak semudah seperti dalam pembahasan. Dalam kenyataan sehari-hari selalu terjadi pergulatan dalam penerapan gaya kepemimpinan yang dianggap tepat.

4. Kepemimpinan Sejati

Modal Utama Memimpin

Keberhasilan memimpin pekerja dalam organisasi merupakan salah satu kunci ke arah efektivitas pelaksanaan pekerjaan, dan lebih lanjut dapat mengantarkan pada keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini dikemukakan oleh Rabert L. Mathis dan John H. Jackson sebagai berikut:

"Successful management of human resources is one of the keys to the effective operation of an organization.”

Agar supaya dapat berhasil baik dalam memimpin orang/ pegawai, ada modal utama yang harus dimiliki oleh pemimpin. Modal utama itu ialah : KEPRIBADIAN, KEMAMPUAN dan KESUNGGUHAN. Ketiganya mempunyai bobot yang sama, dengan demikian satu dan lain tidak mendominasi, sehingga daya pengaruhnya sama besar.

1. Kepribadian.

Yang dimaksud dengan kepribadian menurut beberapa orang ahli psikologi ialah:

"Kepribadian adalah kumpulan pembawaan biologis berupa dorongan, kecenderungan, selera dan instink yang dicampuri dengan sifat dan kecenderungan yang di dapat melalui pengalaman yang terdapat pada diri seseorang" (Morton Prince)

"Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut terhadap lingkungannya"

Dari berbagai pendapat mengenai kepribadian dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah segala masukan pada jiwa seseorang baik yang disengaja maupun tidak dan kemudian menetap mendasari segala sikap dan tingkah laku orang bersangkutan dalam kehidupan. Unsur-unsur yang membentuk kepribadian menurut beberapa ahli antara lain seperti yang dikemukakan oleh Dr. Sarlito Wirawan Sarwono ialah:

a). Pengalaman umum, yang terdiri atas sub unsur pendidikan dan sub unsur lingkungan sosial.

Pendidikan baik yang informal maupun yang formal dialami oleh seseorang besar sekali pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian. Pendidikan informal dalam rumah tangga/keluarga yang dialami sejak manusia lahir, kemudian pendidikan informal dalam pergaulan serta pendidikan formal yang diikuti sejak dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi,semuanya berperan ikut membentuk. Bagaimana bentuk pendidikan dalam keluarga,pergaulan di luar rumah dan pendidikan formal yang diterima, begitulah kelak bentuk kepribadian pada seseorang. Orang dalam lingkungan keluarga terdidik hidup sederhana, kelak akan memiliki kepribadian sederhana dalam kehidupannya. Demikian sebaliknya orang yang terdidik dalam kehidupan serba mewah dan serba ada akan mempunyai kepribadian boros dan malas.

Karena unsur pendidikan itu penting dalam pembentukan pribadi, maka perlu mendapatkan perhatian yang sungguh­sungguh oleh siapapun yang berpredikat pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal, baik pemimpin dalam perujudan perorangan maupun dalam bentuk kelompok berupa organisasi. Sebab dalam kedudukan sebagai pemimpin mereka memiliki kewajiban untuk mendidik agar orang-orang, yang ada di bawah pembinaannya mempunyai kepribadian yang baik, dewasa dalam berfikir dan bertindak.

Selanjutnya sub unsur yang kedua dalam unsur pendidikan ialah lingkungan sosial. Sebenarnya dalam lingkungan sosial terdapat juga pendidikan tidak langsung sebagai akibat adanya interaksi sosial. Sejak anak-anak sudah pandai bergaul sesuai dengan tingkat usianya, di luar lingkungan keluarga pada saat itu sudah mulai berlaku interaksi sosial, pengaruh mempengaruhi antara satu sama lain secara tidak langsung dan tidak sengaja. Seorang anak tiba-tiba pandai mengucapkan kata-kata kotor, jelas hal ini akibat pergaulan di luar rumah, sebab yang pasti dalam lingkungan keluarga tidak pernah terdengar kata-kata seperti itu diucapkan oleh anggota keluarga. Makin meningkat umur, makin luas pergaulannya, dan makin meningkat pula interkasi yang saling mempengaruhi itu. Pengaruh mempengaruhi adalah proses pendidikan tidak langsung dan tidak sengaja (pasif) yang terjadi dalam pergaulan di lingkungan sosial. Dalam pembentukan kepribadian lingkungan sosial ikut berperan, terutama di dalam masa proses pematangan kepribadian yang pada umumnya berjalan sejajar dengan proses pendewasaan.

b). Pengalaman khusus, yaitu berbagai macam peristiwa atau kejadian yang disaksikan atau dihayatif dialami sendiri, yang peristiwa atau kejadian itu merupakan hal yang tidak biasa bagi yang bersangkutan bahkan bagi kebanyakan orang. Oleh karena itulah hal-hal yang disaksikan atau dialami itu merupakan pengalaman khusus. Pengalaman khusus dapat mempengaruhi sangat dalam terhadap jiwa seseorang, kadang-kadang sedemikian dalamnya sehingga dapat mengubah sifat dan perangai yang telah tertanam sebelumnya. Jadi tidak hanya ikut membentuk kepribadian tetapi dapat mengubah sebagian kepribadiannya.

Pengalaman seorang anak muda yang selamat dari musibah kebakaran dan tenggelamnya kapal penumpang 'Tampo­mas' di perairan Masalembo yang sangat mengerikan pada tahun 1981 misalnya, akan sangat mempengaruhi jiwanya sehingga sifatnya berubah dari periang menjadi pemurung. Kepribadian yang terbentuk setelah dewasa akan dirasuki oleh pengalaman khusus ini. Banyak peristiwa-peristiwa yang mencekam seperti contoh di atas, baik dalam bentuk kecelakaan, bencana alam, kekejaman, peperangan dan lain sebagainya, dialami oleh individu-individu sehingga merupakan bahan bentukan kepribadian para individu itu.

Demikianlah unsur-unsur yang menjadi bahan bentukan kepribadian. Dalam perwujudan sehari-hari unsur itu sangat luas dan bermacam-macam. Boleh dikatakan bahwa apa yang ada di dunia ini, yang dapat diterima panca indera dan oleh indera ke-6, yang dapat dipikirkan dan yang dialami sendiri atau orang lain, kesemuanya menjadi bahan masukan untuk proses pembentukan kerpibadian. Suatu peristiwa yang bagi orang lain merupakan hal yang biasa, dapat saja menjadi hal yang luar biasa, menjadi pengalaman khusus, yang juga akan berperan dalam pembentukan kerpibadian.

Kepribadian seseorang diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain:

· sikap terhadap suatu keadaan, peristiwa atau masalah;

· tingkah laku sehari-hari dalam keadaan yang berbeda;

· reaksi dalam menghaqapi masalah yang pelik;

· cara menyelesaikan suatu masalah;

· pendirian dalam menetapkan pilihan yang sifatnya mendasar;

· keberanian mengemukakan/menghadapi sesuatu.

Jadi bagaimana seseorang bersikap, bertingkah laku, bereaksi, mengambil cara-cara dalam penyelesaian sesuatu, mempertahankan pendirian dan keberanian mengemukakan sesuatu, itulah wujud kepribadiannya.

Dengan demikian kepribadian menjadi faktor yang sangat berperan dalam pergaulan masyarakat, terutama bagi seseorang yang tergolong sebagai pemimpin. Kepribadian yang bagaimanakah yang disyaratkan untuk keberhasilan seseorang sebagai pemimpin. Hal ini perlu ditinjau sejenak, sampai di mana syarat yang dikehendaki oleh orang banyak secara umum terhadap figur seorang pemimpin, terutama dari segi kepribadian yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Secara umum sifat-sifat terpuji seperti: Jujur, adil, ikhlas, benar dan ramah, adalah men­jadi bagian dari ciri-ciri kepribadian yang sangat didambakan oleh orang-orang. Memang ciri-ciri seperti di atas untuk bidang­bidang tertentu perlu dilengkapi dengan ciri lain yang kelak akan menunjang keberhasilan.

Ciri lain itu terletak di bidang ratio, bukan kepribadian. Selanjutnya ciri-ciri kepribadian seperti dikemukakan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Jujur

Ajaran mengenai kejujuran terpampang jelas dalarn ajaran yang berasal dari Allah Subhanahu Wata'ala melalui agama­agama besar di dunia. Sebagai contoh dalarn ajaran Islam, soal kejujuran cukup banyak. diketemukan, antara lain melalui perintah Allah seperti tersebut dalarn Al-Qur'­an surat Al-Isra' ayat 35, sebagai berikut:

"Dan sempumakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar".

Memang dalam ayat tersebut di atas tidak dikemukakan secara jelas kata-kata jujur, namun perintah Allah itu dalarn bentuk menjalankan perbuatan yang jujur. Menakar dan menimbang dalam dunia perniagaan pada dasarnya dilakukan sepenuhnya oleh si Penjual, sehingga apabila ada niat untuk berlaku tidak jujur (curang) pada Penjual, peluangnya cukup luas, hampir-hampir tidak dapat diketahui oleh pembeli pada saat itu. Meskipun ada peluang lebar, hal itu tidak dilakukannya. Inilah inti dari perintah untuk berlaku jujur.

Kejujuran merupakan landasan yang kuat timbulnya kepercayaan. Dalam pepatah dikatakan :

"Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya".

Dalam Islam kecuali ajaran yang bersifat mengajak manusia diantaranya dalam hal kejujuran ini, ada juga ajaran yang bersifat mewajibkan kepada manusia tertentu melakukan suatu perbuatan yang di antara ajaran itu melatih seseorang untuk berlaku jujur, semata-mata karena Allah. Ajaran ini lalah mengenai puasa dalam bulan Ramadhan, yang termasuk salah satu rukun Islam. Perintah berpuasa terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya sebagai berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti halnya telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa".

Masalah kejujuran sudah merupakan kebutuhan umum dalam tata pergaulan, oleh karena dalam setiap kesempatan hal itu akan selalu diingatkan kepada orang tanpa memandang status. Hal ini terlihat dalam salah satu diantara pokok-pokok kepemimpinan Pancasila/Nasional ialah sifat Belaka, jujur dalam kata dan perbuatan serta berani mempertanggung jawabkan tindakannya

'Pokok-pokok' tersebut ialah:

- taqwa;

- ing ngarsa sung tulada;

- ing madya mangun karsa;

- tut wuri handayani;

- waspada purba wisesa'

- ambeg parama acta;

- prasaja;

- satya;

- gemi nastiti;

- belaka;

- legawa.

Tidak hanya pemimpin yang dituntut adanya kejujuran tetapi juga pada semua orang. Di lingkungan Pegawai Negeri di Indonesia ada Sapta Prasetya Korp Pegawai Republik Indonesia yang merupakan kode etik (sumpah) bagi seluruh korp Pegawai Republik Indonesia, yang salah satu diantaranya menyatakan soal kejujuran sebagai. berikut:

"Kami anggota KORPRI dalam melaksanakan tugas bekeIja dengan JUJUR, berdisiplin, bersemangat, ber­tanggungjawab dan penuh pengabdian".

Dengan uraian di at as maka jelas bahwa kejujuran dituntut tidak hanya oleh tata pergaulan formal atau informal tetapi dituntut oleh ajaran yang lebih tinggi yaitu AGAMA.

(2) .Adil

Berlaku adil adalah sesuatu yang sangat mulia dan didambakan oleh manusia di muka bumi ini. Pada dasarnya siapapun yang memiliki kekuasaan dan atau kewenangan harus berlaku adil dalam menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya itu. Seorang ayah sebagai Kepala Keluarga harus berlaku adil terhadap anak-istrinya, karena ia memiliki kuasa dan kewenangan dalam rumah tangganya. Seorang pemimpin atau Kepala harus berlaku adil terhadap orang-orang yang dipimpin atau di-Kepalai, karena pemimpin/Kepala itu mempunyai kekuasaan dan atau kewenangan terhadap mereka sebagai bawahan yang dipimpin. Demikianlah seterusnya. Dan karena semua orang itu pada hakikatnya adalah pemimpin di temp at dan waktu tertentu, maka berlaku adil itu dalam kenyataan dituntut pada semua orang, seperti yang difirmankan oleh Allah swt. da­lam AI-Qur'anul Karim, surat An-Nisa' ayat 135 yang artinya sebagai berikut:

"Tegakkanlah keadilan semata-mata karena Allah, juga terhadap dirimu sendiri, orang tuamu dan kaum kerabatmu, serta juga kepada orang lain, baik ia kaya atau rniskin. Karena Allah rnelindungi semuanya. Janganlah perturuti hawa nafsumu. Dan kalau engkau menyimpang dan memutarbalikkan keadilan atau enggan berlaku adil, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Keadilan menjadi salah satu sumber ketenangan, kesatuan dan kebersamaan. Betapa tidak, sebab dengan berbuat adil dapat dihindari silang sengketa, rasa tidak puas dan perasaan terpaksa dalam kelompok. Dalam uraian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada sila ke II dan ke V, disebutkan tentang keadilan itu sebagai berikut:

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaannya, jenis kelarnin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagai­nya. Karena itu dikembangkan sikap mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa selira' serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan berani membela kebenaran/keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.

Demikian pula perlu dipupuk sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Dengan sikap yang demikian ia tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan hidup bergaya mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja dan sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

(3) Ikhlas

Ikhlas adalah suatu sifat berasal dari lubuk hati manusia yang dapat mewarnai setiap kata yang keluar dan perbuatan yang dilakukan olehnya Dengan batasan tersebut berarti bahwa sifat ikhlas kadang-kadang bahkan ada kalanya sering, tidak memberikan wama dalam kata dan perbuatan seseorang. Jika demikian halnya, kata dan perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah tidak disertai dengan keikhlasan melainkan disertai oleh perasaan terpaksa.

Perasaan terpaksa melakukan perbuatan atau pekerjaan yang ia tahu bahwa hal ini tidak sesuai panggilan hati nuraninya dapat menyebabkan timbulnya pertentangan dalam bathin, dan jika dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan 'stres'.

Namun tidak hanya perbuatan yang dilakukan karena terpaksa, akan menimbulkan pertentangan bathin yang dapat menjurus ke 'stres'. Perbuatan seseorang yang terpaksa karena membela diri dari bahaya yang mengancamnya, tidak menimbulkan pertentangan, justru sebaIiknya dapat menimbulkan kepuasan bahkan rasa syukur kepada Allah karena terlepas dari bahaya (Contoh : seseorang membela diri dari serangan orang lain yang berbahaya).

Dalam ulasan tentang perbuatan yang dirasakan 'terpaksa' di sini adalah yang termasuk dalam kontek pertama (faktor dari dalam), sebagai kebaIikan dari rasa keikhlasan. Sedangkan terpaksa pada kontek kedua lebih banyak tekanan pada faktor situasi Iingkungan (faktor dari luar).

Tanda-tanda bahwa seseorang melakukan pekerjaan dengan ikhlas yang dapat dilihat ialah:

- mempunyai disiplin yang tinggi;

- melaksanakan pekerjaan dengan tekun, sadar dan teliti;

- sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya

Antara 'ikhlas' dan 'tidak ikhlas' memang ada jarak yang berisi berbagai klasifikasi yang memberlkan wama dalam kata dan perbuatan. Titik tengah antara 'ikhlas' dan 'tidak ikhlas' sering digunakan terhadap orang yang dalam melaksanakan tugas pekerjaan, tidak sepenuh hati, melainkan 'setengah-setengah'. 'Setengah-setengah' ini berarti kurang niat dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga sering mengakibatkan hasil pekerjaan tidak memuaskan atau tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Ikhlas dalam melakukan tugas pekerjaan dapat disamakan dengan 'menerima', seperti yang telah diulas di muka. Hanya kata-kata tidak ikhlas, tidak identik dengan kata menentang sebagai lawan 'menerima'. Tidak ikhlas melakukan pekerjaan, belum tentu menentang. Tetapi menentang sudah pasti tidak ikhlas.

Masalah keikhlasan merupakan masalah mendasar dalam ajaran agama Islam. Sebab keikhlasan akan menjadi ukuran bagi penganut ajaran Islam (Muslim) diterima atau tidaknya amal ibadah yang dilakukan. Tanpa rasa ikhlas, hanya karena Allah, amal ibadah yang dilakukan manusia, tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga dari segi hubungan dengan Allah, amal ibadah semacam itu tidak ada artinya.

" .... keikhlasan dalam beramal dan beribadat, benar­benar menjadi barometer atas sah dan tidaknya amal ibadat tersebut. Sedang untuk menetapkan ikhlas dan tidaknya seseorang, tidaklah ditentukan oleh orang yang bersangkutan, tidak pula oleh orang lain. Sebab ikhlas adalah urusan dan tugas hati dan cuma Allah sahaja yang tahu pendirian hati harnba-Nya".

Dalam ke-11 Pokok-pokok Kepemimpinan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila, soal keikhlasan tercantum pada pokok ke-11 seperti yang telah dikutip, yaitu: LEGAWA yang berarti ikhlas dalam menjalankan kewajiban dan ikhlas pula menyerahkan tugas kepada generasi berikutnya. Dengan demikian lengkaplah dasar terhadap tuntutan keikhlasan itu baik dari segi Agama (dalam hal ini Islam), ajaran secara Nasional maupun ajaran moral yang menyangkut pada kesehatan jiwa. Oleh karena itu bagi orang-orang yang sadar akan masalah keikhlasan ini akan selalu berusaha berbuat sesuatu dengan penuh keikh­lasan semata-mata karena tugas kewajiban (dalam Islam, karena keridhaan Allah semata-mata, yang di dalamnya telah termasuk kewajiban kepada Agama dan sesama ma­nusia). Orang yang sudah mencapai tingkat demikian disebut 'MUKHLlS' dan inilah arti yang hakiki terhadap kata 'DEWASA'. Ia bekerja mencari nafkah, berbuat dan bertingkah laku dengan didasari berbakti dan beribadah, tidak karena ada pengawasan oleh orang lain atau karena diperintah (dalam organisasi keIja selalu diperintah) oleh orang lain.

Keikhlasan, dengan demikian menjadi sumber ketertiban baik dalam organisasi kerja maupun di masyarakat. Karena setiap orang tahu akan kewajiban, kewenangan dan selalu taat pada aturan permainan. Masyarakat pekeIja demikian yang didambakan oleh semua orang, dan ini dapat dimulai dari diri pemimpin dilingkungan pekeIjaan itu.

(4) Benar

Benar dalam kata dan perbuatan. Inilah kata-kata yang sering didengar dan juga merupakan harapan bagi orang banyak terhadap pemimpinnya. Kata-kata itu memang mengandung makna yang dalam karena di situ tersimpul jiwa moral yang tinggi. Antara kata dan perbuatan hendaknya tidak terjadi pertentangan melainkan keharmonisan. Mulut mengatakan bahkan mengajurkan hidup sederhana, dalam arti tidak terlampau berbeda jauh dengan masyarakat sekitamya. tetapi dalam kenyataan justru hidup mewah berlebih-Iebihan. Hal inilah yang sering disebut dengan istilah 'munafik', dan terhadap orang demikian tidak lagi menda­patkan kepercayaan orang banyak. Tidak hanya orang tidak percaya lagi terhadap kata-katanya tetapi juga orang tidak lagi hormat kepadanya.

Apabila seorang pemimpin sudah kehilangan kepercayaan dan kehormatan dari orang-orang yang dipimpin, sesungguhnya ia sudah kehilangan salah satu unsur kewibawaan. Ia masih kelihatan ditaati oleh orang banyak semata-mata bukan karena kewibawaan melainkan karena kekuasaan yang masih ada padanya. Manakala kekuasaan itu tidak lagi melekat, maka secara moral ia tidak dihiraukan oleh orang. Apabila ini yang terjadi, maka sesungguhnya keadaan itu merupakan siksaan baginya.

Benar, dengan demikian menjadi sendi dari kepercayaan. Kebalikan kata benar adalah bohong. Siapayang sering berbohong maka tidak akan dipercaya oleh orang meskipun suatu waktu ia berkata benar. Dalam dunia Pewayangan Purwa, tokoh yang sangat disegani karena selalu berkata benar (dalam arti tidak pernah bohong) ialah Puntadewa, putra sulung keluarga Pandawa-lima. Kepada siapapun ia akan mengatakan sesuatu itu benar jika memang demikian, dan ia akan mengatakan sesuatu itu tidak benar (salah) jika memang tidak benar. lnilah watak Puntadewa. Konon diceritakan bahwa karena tidak berbohong itulah darah Puntadewa bukannya merah tetapi putih. Memang putih sering diartikan benar atau sud, seperti arti bendera Merah Putih, berani (merah) karena benar (putih).

Seperti telah diutarakan 'benar' itu berisi dua materi, yaitu 'benar' dalam kata dan 'benar' dalam perbuatan. 'Benar' dalam perbuatan kecuali berarti konsekuen terhadap kata­katanya juga berarti sesuai dengan aturan yang berlaku, baik aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis. Di lingkungan pekerjaan kebenaran menjalankan tugas kewajiban diukur sebagian besar dengan aturan tertulis, seperti sistem prosedur, metode. Pemimpin pekerja yang baik adalah yang dalam tutur kata, perilaku dan perbuatannya dalam melaksanakan tugas pekerjaan, sesuai dengan pola aturan organisasi, sehingga ia dapat menjadi contoh tauladan yang baik bagi orang-orang yang dipimpin.

(5) Ramah-tamah

Ramah-tamah adalah suatu bentuk sikap yang berfungsi mendekatkan hubungan persahabatan dalam suatu pergaulan. Dengan sikap demikian dapat dijalin hubungan baik, yang hal ini sangat menentukan dalam kelancaran tugas pe­kerjaan sudah tentu tanpa mengorbankan aturan yang ada. Dengan modal keramah-tamahan seseorang dapat memperluas pergaulan, mempermudah saling pengertian dan akhirnya memperlancar berbagai urusan. Bagi seorang pemimpin keramah-tamahan tidak hanya mempunyai dampak seperti tersebut tetapi juga dan ini yang penting dapat meningkatkan kehormatan akan dirinya di mata orang-orang yang dipimpin dan menjadi alat kemudahan dalam membina orang-orang. Kedua hal yang terakhir ini merupakan sebagian dari sarana keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, di samping sarana lain yang diperlukan.

Dari Hadist yang diriwayatkan oleh Akhmad dan Ibnu Hibban seperti yang dikutip di atas, jelas bahwa sikap ramah tamah (silaturahmi) sangat penting dalam membina pergaulan/persaudaraan. Demikian penting sikap itu sampai Allah mengatakan, walaupun seseorang dibenci/dimusuhi oleh orang, tidaklah menjadi penghalang bagi seseorang itu untuk tetap berlaku ramah tamah. Justru dengan sikap keramah-tamahan itu dapat melunturkan sikap permusuhan.

2. Kemampuan

Kemampuan melaksanakan tugas pekerjaan secara umum terdiri dari 2 faktor, yaitu kesehatan jasmani dan rohani, keahlian atau ketrampilan disesuaikan dengan jenis tugas atau pekerjaan. Mengenai kesehatan sudah jelas, sebab betapapun ahli tetapi dalam keadaan sakit-sakitan, tidak mungkin dapat menerapkan keahliannya itu di bidang pekerjaan. Demikian juga sebaliknya, secara jasmaniah dan rohaniah mampu tetapi keahlian/ketrampilan tidak ada, maka tugas pekerjaan tidak dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Faktor ke-2 yaitu keahlian dalam memimpin organisasi untuk mencapai tugas yang telah ditetapkan. Dalam hal kemampuan kepemimpinan menurut Richard E. Boyatzis ada 5 dimensi yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang, yang dengan kualitas seperti itu pemimpin yang bersangkutan dapat melaksanakan kepemimpinannya secara berdaya guna. Ke-5 dimensi itu ialah:

1) dapat menanamkan perasaan mampu melaksanakan tugas pekerjaan pada Orang lain;

2) dapat membangun kepercayaan terhadap pemimpin;

3) dapat menyusun sistem ikatan ketjasama dengan menetralisir sistem ikatan persaingan yang ada;

4) dapat menyelesaikan pertikaian melalui musyawarah secara baik dan menghindaripenyelesaian secara sepihak dan memaksakan;

5) dapat menumbuhkan dan meningkatkan pemikiran serta sikap yang berorientasi pada pencapaian tujuan.

Apa yang dikemukakan oleh Richard E. Boyatzis terse but mengandung pula implikasi pada penguasaan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tugas pokok organisasi dan tugas manajerial. Sebab tanpa penguasaan itu, tidak mungkin seorang pemimpin dapat menanamkan perasaan mampu (make other people feel strong, have ability) untuk melaksanakan tugas pekerjaan dan juga menumbuhkan dan merangsang pemikiran dan sikap yang berorientasi pada tujuan organisasi.

Dalam kedua hal tersebut sudah tentu disesuaikan dengan luas lingkup tanggung jawab dari seseorang pemimpin. Di lain pihak orang-orang 'bawahan' akan merasakan kepuasan dan bangga bila dipimpin oleh orang yang memiliki kemampuan seperti di atas.

Kemampuan memimpin harus ditumbuhkan sejak dini, karena betapapun 'kecilnya' setiap orang adalah pemimpin pada waktu dan tempat tertentu. Dari segi hakikat sebenamya setiap orang mempunyai fungsi ganda dalam masyarakat sebagal organisasi. Fungsi yang pertama sebagai PEMIMPIN dan fungsi ke­dua sebagai orang yang DIPIMPIN. Unsur pembeda adalah waktu dan atau tempat.

Pada saat yang berbeda tetapi tempat yang sama, seseorang dapat berfungsi sebagai pemimpin dan sebagai orang yang dipimpin. Demikianlah peranan itu akan silih berganti. Namun dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan (teoretis) tetapi pada tempat yang berlainan (tempat dalam arti kedudukan dalam organisasi) seseorang dapat sekaligus berfungsi sebagai pemimpin dan yang dipimpin.

Dari contoh dan gambaran di atas, jelaslah bahwa manusia memiliki dwiperan dalam masyarakat, yaitu sebagai pemimpin dan sebagai yang dipimpin. Kesadaran dalam hal ini sangat penting, karena dapat menghindari kecampuradukan peran itu, bearti akan berhasil dalam memerankan peran itu. Pencampuradukan peran mengakibatkan tidak tahu lagi di mana ia 'berdiri'. Dominasi dalam campur,ini cenderung pada peran sebagai pemimpin, sehingga akan terlihat seseorang itu selalu berfikir sebagai pemimpin di manapun berada dan kapanpun. Hal ini nyatanya tidak benar.

Kesadaran kapan dan di mana ia sebagai pemimpin serta kapan dan di mana sebagai orang yang dipimpin, sangat perlu jika ia ingin dihormati, dihargai dan sukses dalam berorganisasi. Dwiperan itu selalu silih berganti artinya, seseorang berperan sebagai orang yang dipimpin, tetapi di lain pihak sesungguhnya ia sebagai pemimpin. Juga seseorang berdiri sebagai pemimpin, namun ia juga sebagai orang yang dipimpin. Kedua peran yang silih berganti itu haruslah disadari oleh setiap orang.

Bukti bahwa setiap orang mempunyai dwiperan dapat diberikan contoh di 2 bidang: di tempat kerja (formal) dan di rumah (informal).

Di tempat kerja {formal}.

Manusia pada suatu saat berada di tempat atau kedudukan tetap. Misalnya ia berada di kantor di meja kerja, dengan jabatan sebagai Kepala Dinas. Pada pukul (X) misalnya, menghadap seorang Kepala Seksi melaporkan pelaksanaan pekerjaan. Pada waktu itu, ia berperan sebagai Atasan (pemimpin). Beberapa saat kemudian ada telepon dari Kepala Direktorat sebagai atasannya. Pada waktu itu ia berbicara dengan Kepala Direktorat berperan sebagai orang yang dipimpin. Kedua peran Hu merupakan hal yang berbeda sarna sekali (1800 - berlawanan), sehingga sikap, tingkah Iaku dan cara berbicaranyapun akan berbeda.

Di rumah (informal).

Seorang Bapak/Ayah pada umumnya berkedudukan sebagai Kepala Rumah Tangga jadi pemimpin. Ia dapat memerintahkan istri, anak-anak dan pembantu guna menyelenggarakan pekerjaan kerumahtanggaan baik rutin atau bukan rutin, untuk mencapai kesejahteraan keluarga.

Di pihak lain si Bapak/ Ayah adalah orang yang dipimpin, yaitu oleh Ketua Rukun Tetangga (RT). Apapun yang diperintahkan oIeh Ketua RT kepadanya harus dilaksanakan, oleh karena pada saat itu ia adalah orang yang dipimpin yang berkewajiban melaksanakan perintah pemimpin, taat dan setia kepada pemimpin (sudah tentu cara memerintah dan memimpin menggunakan metode atau teknik yang manusiawi).

3. Kesungguhan

Kesungguhan dalam melakukan kegiatan atau pekeIjaan apapun sangat penting karena berpengaruh langsung pada kegiatan atau pekerjaan itu. Dengan adanya kesungguhan akan tumbuh sikap-sikap yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu:

a. Sikap hati-hati, tidak ceroboh atau sembrono. Sikap ini sangat membantu usaha peningkatan keselamatan kerja, karena dati sikap hati-hati timbul sikap patuh terhadap aturan;

b. Sikap tekun melaksanakan kegiatan atalu pekerjaan. Tekun akan diikuti oleh sikap teliti sehingga untuk jenis-jenis pekerjaan yang memerlukan syarat ketekunan, sangat membantu. Misalnya dalam bidang penelitian tanpa ada sikap tekun tidak mungkip penelitian itu berhasil. Di samping itu, dan sikap tekun itu akan timbul pikiran-pikiran baru (inisiatif) sebagai suatu hal yang wajar dari lanjutan ketekunan itu;

c. Sikap disiplin dalam pekerjaan. Disiplin dapat diharapkan tumbuh atas dasar kesadaran dengan diawali oleh kesungguhan bekerja atau bertugas. Seperti telah diuraikan, disiplin sangat diharapkan dalam setiap hal dalam kehidupan baik secara individual maupun bermasyarakat baik dalam hubungan manusia dengan Al-Chaliq, maupun dalam hubungan antar manusia (khablum minallah, khablum minannas).

Perintah mendirikan shalat 5 kali dalam sehari semalam pada waktu tertentu merupakan ajaran yang paling tepat untuk melatih disiplin atas dasar kesadaran dan dilandasi oleh aturan. Disiplin terhadap aturan tanpa harus diawasi secara fisik, merupakan disiplin yang paling baik. Itulah makna yang sesungguhnya terhadap kesadaran hukum sebagai manifestasi dari RULE OF LAW.

d. Sikap mandiri. Dengan kesungguhan dapat diharapkan mempercepat proses kemandirian dalam tugas pekerjaan disertai dengan tanggung jawab. Kemandirian dalam pekerjaan sangat penting karena dengan demikian mengurangi frekuensi pengawasan oleh atasan dan memungkinkan seluruh mekanisme pekerjaan berjalan secara serentak dan teratur sebagaimana suatu sistem.

Kesungguhan dengan demikian merupakan salah satu sendi dari keberhasilan suatu usaha. Bagi pemimpin dengan sendirinya hal itu sangat penting karena tanpa kesungguhan dalam memimpin, orang-orang yang dipimpin tidak akan mungkin di "gerak" kan untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.

Apabila kesungguhan pada seseorang telah ada, maka perlu dipelihara agar tidak menurun secara tajam, memang secara grafis, kesungguhan seperti halnya nafsu mengalami pasang surut. Yang penting bahwa waktu surut atau mengendornya kesungguhan itu jangan sampai berlangsung lama sehingga berubah menjadi statis. Adapun cara memelihara kesungguhan agar minimal stabil, yaitu:

· memelihara keseimbangan kepentingan antara pribadi dan organisasi;

· meningkatkan kemampuan serta kemahiran;

· membina hubungan kerjasama.

Organisasi dibentuk pada dasarnya untuk mencapai tujuan organisasi yang di dalamnya termasuk memenuhi kebutuhan pribacli para anggota organisasi. Karena itu di antara tujuan organisasi harus tercermin terpenuhinya kepentingan pribadi, yang seimbang dengan apa yang diperlukan oleh organisasi. Kepentingan pribadi dalam organisasi secara fisik diwujudkan dalam sistem penggajian dan pemberian fasilitas serta berbagai hak orang dalam organisasi. Antara kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi harus seimbang menurut bobot dan kesepakatan, dengan kata lain ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, membawa perasaan kepuasan secara wajar kepada setiap orang dalam organisasi, yang berarti mereka memperoleh salah satu dorongan untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas pekerjaan.

Hal berikut yang juga menjadi alat pendorong kesungguhan yaitu peningkatan kemampuan atau kemahiran. Seperti diketahui bahwa setiap, orang memiliki rasa bosan rasa ingin tahu dan ingin maju dalam pekerjaan. Untuk menghindari rasa bosan menambah pengetahuan dan membekali untuk kemajuan, salah satu cara yang dapat ditempuh ialah meningkatkan kemampuan para anggota organisasi rnelalui berbagai program pendidikan/latihan (diklat). Dalam program diklat ini tidak hanya kemampuan yang bersifat rasio-fisik yang diperhatikan, tetapi juga kemampuan yang bersifat moral-kejiwaan. Sebab kemampuan yang disebut terakhir ini sangat berperan dalam usaha mempertahankan kepribadian (yang baik) seseorang, sehingga sikap tingkah laku dapat disesuaikan dengan budaya organisasi.

Kemampuan meningkat, yang diikuti dengan perluasan pekerjaan atau tanggung jawab dan wewenang, diharapkan mereka tetap dapat merniliki kesungguhan dalam pekerjaan. Peningkatan kemampuan yang ditandai dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan menangani pekerjaan, merupakan sebagian kepuasan tersendiri bagi seseorang. Kepuasan yang ada itu dapat rnempertahankan kesungguhan bekerja.

Terakhir usaha untuk mempertahankan kesungguhan yaitu mempertahankan hubungan kerjasama yang dinilai sudah cukup baik, bahkan kalau mungkin dapat ditingkatkan. Kerja­sama yang dirasakan serasi, dalam arti semua orang melaksanakan pekerjaan seimbang, sebobot-sepenanggungan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, mampu menumbuhkan rasa korsa yang tinggi. Pada akhirnya rasa korsa menumbuhkan dan mempertahankan kesungguhan yang telah ada. Memang kerjasama yang serasi memerlukan landasan tertentu, karena tidak semua bentuk kerjasama menjadi serasi. Banyak kerjasama yang semula kelihatan serasi dan stabil tiba-tiba menjadi hancur berantakan. Tidak hanya terjadi pada organisasi kecil (bahkan rumah tangga) tetapi juga pada organisasi-organisasi besar. Landasan yang paling kuat untuk keriasama yang serasi, apabila di dalamnya:

ü Dapat ditegakkan keadilan dan kejujuran, tidak nanya antar orang tetapi juga dari organisasi itu sendiri. Sifat keterbukaan menjadi salah satu unsur.

ü Tumbuh saling percaya mempercayai antar pimpinan, antara Bawahan dan Pimpinan, dan antara Pimpinan dan Bawahan. Sudah tentu semua pihak wajib rnenjaga dan menghorrnati kepercayaan yang diterima dan tidak menyalahgunakannya.

1 komentar:

  1. saya pikir ini tulisan tangan mu, ternyata hanya mengambil sampel dari bukunya S.P. Varma (1999).

    Jangan terlalu mengangab bodoh, jika tak ingin dianggap pintar..

    BalasHapus