Sabtu, 11 Juni 2011

Film Indonesia dan Media Elektronik Sebagai Salah Satu Faktor Yang Membentuk Budaya Kontemporer (Kekinian)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Budaya

Secara etimologis kata budaya (culture) berasal dari bahasa Latin cultur atau cultus, yang berarti pengelolaan tanah, pengembangan tanaman, kehalusan perilaku, pola berhias, penghormatan, pemujaan. Dari pengertian sederhana itu, kata cultur kemudian melebar menjadi keunikan masyarakat yang dilihat sebagai fakta dan kodrat alamiah dari Tuhan. Herder dan Goethe mengartikan kebudayaan sebagai pengembangan bakat intelektual dan spiritual, sesuai dengan kecanggihan khas rasnya, hingga mencapai integritas yang mantap. Sedangkan menurut Friedrich Schiller, kebudayaan adalah proses inovasi lewat imajinasi kreatif dalam seni, filsafat, dan agama; gerak perubahan dari tahap masyarakat mimesis- prareflektif menuju tahap reflektif-kreatif-otonom. Sementara pemikir Indonesia gemar mendefiniskan kebudayaan secara lebih bombas dan sistematis yang dalam pengertian sekarang akan terasa menggelikan (Koentjaraningrat, Sutan Takdir). Demikian pula beberapa pemikir lain seperti Cicero, Matthew Arnold, E.B. Taylor, Geertz, dan sebagainya masing-masing memberikan proposisi tersendiri tentang konsep kebudayaan. Pada intinya, dapatlah dikatakan secara dialektis bahwa kebudayaan adalah tindakan manusia yang melawan kemestian alam.

Namun seiring dengan perjalanan sejarah yang makin kompleks dan forma kehidupan yang makin ruwet gara-gara rasionalisasi dan digitalisasi di segala bidang, pengertian kebudayaan menjadi semakin sulit dirumuskan. Ia menjadi kosakata yang kadangkala terasa asing bagi manusia modern serentak menjadi istilah borongan sebab digunakan secara manasuka oleh beragam manusia dengan beragam profesi pada beragam kesempatan. Kata budayayang menjadi kata dasar dari kebudayaan mau tak mau mengalami meminjam analisis Heidegger pemiskinan kata sebab setiap generasi menambah lapisan atas arti asli suatu kata, menutupinya seperti lapisan karat sehingga tiba-tiba kita berada pada ranah kognisi yang sedemikian berbedanya dari intensi awal penggunaan kata tersebut. Maka tak heran apabila Raymond Williams berkata bahwa culture adalah salah satu kata dalam bahasa Inggris yang paling susah untuk didefinisikan.

Perkembangan kemampuan reflektif manusia bertambah canggih seiring dengan berlalunya zaman hingga darinya kita mendapatkan dua metode yang dapat digunakan secara sangat memadai untuk memungkinkan kita berbicara tentang kebudayaan dewasa ini, yaitu fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi adalah metode filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dan ditarik ke ufuk ekstrimnya oleh muridnya Martin Heidegger sebagai hermeneutika. Ada beberapa perubahan fundamental yang disebabkan oleh keduanya dalam memahami kebudayaan kontemporer.

Pertama, kini pendekatan yang memahami kebudayaan secara sistemik dan ahistorik sebagaimana yang dicetuskan para pemikir konvensional tidak lagi meyakinkan. Akan lebih strategis memandang kebudayaan sebagai proses pertukaran dan pengaruh-memengaruhi dalam relasi yang kompleks. Kebudayaan adalah gambaran sementara dan imajinatif tentang persilangan-persilangan dari pelbagai aliran. Sebagai aliran, yang primer adalah aliran itu, bukan gambarnya. Gambarnya, sebagai bentuk abstrak gagasan dan konsep, adalah sekunder. Tiap-tiap identitas kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang keterkaitan satu sama lainnya sangatlah longgar, sehingga setiap kali mudah dibongkar dan ditata kembali sesuai dengan lingkungan yang berubah dan interaksi yang terjadi.

Kedua, kebudayaan bukanlah sistem tertutup. Kebudayaan bisa melintasi batas-batas geopolitis. Pelbagai negara bisa saling tumpah tindih dalam hal kebudayaan. Dan kini bahkan muncul kebudayaan-kebudayaan yang bersifat transnasional karena sifatnya yang nomadik dan homeless macam pop culture atau cyber culture.

Sebagai konsekuensinya, dan ini yang ketiga, cara pandang totalistis terhadap kebudayaan menjadi tidak relevan. Tidak dapat kita mengatakan secara tegas, misalnya, ini budaya Jawa dan itu budaya Sunda. Kebudayaan tak bisa lagi dipahami sebagai blok monolit yang eksklusif terpisah dengan blok-blok lainnya. Kesatuan padat semacam itu tak lebih dari ilusi. Ia adalah manifestasi lokal dari pelbagai persilangan dan pertukaran. Yang menjadi gerak kunci adalah cara bagaimana pelbagai unsur kebudayaan yang sebetulnya umum itu digunakan, diolah, dan diubah. Di mana-mana kebudayaan terbentuk dari saling pinjam-meminjam dan inter play dinamis

1.2. Unsur-Unsur Kebudayaan

Setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur dasar, yaitu: kepercayaan, nilai, norma dan sanksi, simbol, teknologi, bahasa, dan kesenian.

a. Kepercayaan

Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut.

Ada pandangan tentang dunia material (bagaimana meramalkan cuaca atau membangun sebuah rumah yang kokoh). Ada pula kepercayaan tentang hal-hal yang tidak tampak (roh manusia, kehidupan sesudah mati, dan segala yang bersifat ilahi). Semua kebudayaan membuat pembedaan antara pandangan yang dapat dibuktikan oleh manusia (misalnya pandangan bahwa merokok menambah risiko kanker) dan pandangan yang tak dapat dibuktikan dengan akal manusia (misalnya, pandangan bahwa ada kehidupan makhluk berinteligensia di planet lain).

Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Orang Barat, misalnya, percaya bahwa waktu tak dapat berbalik atau berulang. Mereka mempunyai persepsi waktu linear, yakni bahwa waktu bergerak lurus ke depan. Waktu bergerak dari suatu titik awal menuju ke suatu titik tujuan (akhir). Waktu bergerak ke depan, karena itu ada kemajuan. Di sini orang tidak percaya pada nasib ataupun takdir. Kemajuan dan perubahan masyarakat tergantung pada usaha dan kerja keras manusia.

Pada zaman kuno waktu dipandang sebagai suatu gerak siklis, melingkar. Waktu berputar mengikuti suatu lingkaran. Waktu bergerak dan bolak-balik dalam suatu ruang kehidupan. Karena itu waktu bisa berulang. Di sini orang percaya pada nasib. Untung dan malang itu sudah ditakdirkan dari "atas". Karena itu manusia pun cenderung pasrah pada situasi yang ada. Sementara itu, masyarakat komunis dan kaum revolusioner pada umumnya mempunyai persepsi waktu spiral. Yakni bahwa waktu bergerak ke depan tetapi tidak secara lurus, melainkan ibarat spiral atau kumparan. Gerak maju terjadi melalui konflik dan pertentangan. Dari konflik dan pertentangan inilah lahir kemajuan dan perubahan bagi masyarakat. Kemajuan dan peruba,han harns diperjuangkan dan direbut, jika perlu dengan jalan kekerasan.

Itulah sebabnya, rnengapa kaum komunis dan revolusioner pada umumnya menghalalkan jalan kekerasan untuk mencapai segala tujuan mereka.

b. Nilai

Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang harns dimiliki, yang diinginkan, dan yang layak dihormati. Meskipun mendapat pengakuan luas, nilai-nilai pun jarang ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Namun nilailah yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan dan masyarakat.

Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang paling berharga. Dengan perkataan lain, nilai itu berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Sikap ini dibentuk melaluipelbagai pengalaman yang menandai sejarah kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Karena pengalaman yang mernbentuk suatu rnasyarakat itu berbeda-beda dari bangsa yang satu ke bangsa yang lain, maka berbeda pula pandangan hidup bangs a yang satu dari bangsa yang lain. Perbedaan pandangan inilah yang pada gilirannya menirnbulkan perbedaan nilai di antara masyarakat. Masyarakat kita, misalnya, sangat menjunjung tinggi apa yang disebut kekeluargaan, keselarasan, dan gotong royong. Sedangkan masyarakat Barat sangat mengagung­agungkan individualisrne. Jika loyalitas terhadap keluarga merupakan pusat kehidupan masyarakat Timur, masyarakat Barat justru beranggapan bahwa tanggung jawab utarna seseorang adalah kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang tua, kakek dan nenek, saudara dan saudari, tante dan om. Jika masyarakat kita menekankan kerja sarna, masyarakat Barat lebih menonjolkan upaya-upaya individual, prestasi­prestasi individual.

Namun tak boleh dilupakan bahwa manusia dan masyarakat fana pun umumnya memperjuangkan dan membela nilai-nilai dasar yang sama, seperti cinta, kebaikan, keindahan, keadilan, persaudaraan, persahabatan, persatuan, perdamaian, dan sebagainya. Nilai-nilai dasar inilah yang menyatukan manusia dari pelbagai latar belakang kebudayaan. Perjuangan ini menunjukkan bahwa manusia pada dasamya memiliki martabat dan cita-cita yang sama.

c. Norma dan Sanksi

Jika nilai itu cita-cita abstrak, norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang hams dan apa yang tidak hams dilakukan pleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berperilaku atau bertindak. Norma adalah standar .yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia-lahir dan kematian, bercinta dan berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus dipakai, kapan dan di mana orang bisa bercanda, melucu, dan sebagainya.

Namun demikian, secara aktual, perilaku manusia dapat menyimpang dari norma-norma yang ada. Lagi pula, orang atau masyarakat dapat memiliki standar-standar perilaku yang berbeda atau bahkan saling bertentangan.

Ada norma-norma yang disebut mores atau tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak, memaksakan suatu perbuatan, di lain pihak melarangnya. Contoh mores, kebudayaan kita menentang kanibalisme.

Dan ada pula norma yang disebut folkways atau kebiasaan, yaltu perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama. Misalnya, setiap pagi orang membersihkan, menggosok gigi, lebih sering orang memakan manisan setelah makan daripada sebelum makan. Norma-norma yang di-code-kan (dibukukan) oleh pejabat-pejabat resmi negara disebut hukum. Se1ain berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, norma-norma yang berbeda pun berlaku dalam kelompok yang yang berbeda. Misalnya, kebiasaan pria dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, sarjana dan orang biasa, dokter dan paslen ltu berbeda. Seorang dokter, misalnya, berwenang meminta pasiennya menanggalkan bajunya untuk suatu pemeriksaan medis, tapi sebaliknya seorang pasien tentu tidak dapat meminta dokter untuk mananggalkan pakaiannya. Selain itu, norma-norma yang berbeda itu berlaku dalam situasi dan setting yang berbeda pula. Pak dokter, misalnya, tak akan meminta seseorang membuka bajunya di suatu acara pesta. Selain itu norma juga berubah. Di Amerika Serikat, misalnya, lima belas tahun lalu sedikit sekali wanita yang bekerja sebagai ahli hukum, sekarang Negeri Paman Sam itu memiliki banyak sekali ahli hukum wanita. Banyak pekerjaan yang di masa lalu hanya ditangani oleh kaum pria, kini ditangani pula kaum wanita.

Jika norma-norma adalah garis pedoman, sanksl-sanksi merupa­kan kekuatan penggeraknya. Sanksi adalah ganjaran ataupun hukuman yang memungkinkan orang mematuhi norma. Sanksi-sanksi itu bisa bersifat formal bisa juga bersifat informal. Pelanggaran terhadap norma mendatangkan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa sanksi, norma-norma kehilangan kekuatan.

d. Teknologi

Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan teknlk­teknik yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik, sosial, dan psikologis yang khas.

Sebagai hasil penerapan ilmu, teknologi adalah earn kerja manusia. Dengan teknologi manusia seeara intensif berhubungan dengan alam dan membangun kebudayaan dunia sekunder yang-berbeda dengan dunia primer (alam). Dewasa ini teknologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap manusia, tidak hanya terhadap eara hidup manusia tetapi juga menentukan teknologi berikutnya.

e. Simbol

Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna - sebuah salib atau suatu patung Budha, suatu konstitusi, suatu bendera. Banyak simbol berupa objek -objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan­tujuan yang lebih bersifat simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumen­tal. Suatu bendera, misalnya, sesungguhnya tidak lain hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upaeara yang khusuk, dan bisa membangkitkan rasa kebanggaan, patriotisme, persaudaraan. Dalam masa perang, bendera musuh bisa menimbulkan rasa benci dan amarah yang hebat.

Simbol-simbol seperti bendera atau salib menampakkan kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma kultural, dan mengandung banyak arti (Victor Turner, 1967). Simbol-simbol lain seperti tanda­tanda lalu lintas mempunyai arti yang lebih sempit dan spesifik.

Simbol bisa berupa barang sehari-hari, barang berguna yang sudah memperoleh arti khusus. Mobil-mobil tertentu menunjukkan kekayaan; mobil-mobillain menunjukkan kemudaan, keberanian, atau gaya hidup pemiliknya. Sementara di lingkungan kebudayaan lain,' seekor sapi atau seekor babi dengan warmi tertentu yang membangkitkan perasaan serupa.

Objek yang sama, bahkan kalau dipakai untuk tujuan yang sama pun bisa berbeda sekali artinya dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda (Douglas, 1970).

f. Bahasa

Bahasa adalah "gudang kebudayaan" (Harroff, 1962). Pelbagai arti yang diberikan manusia terhadap objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan perilaku merupakan jantung kebudayaan. Dan bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti ini kepada generasi baru. Kemampuan untuk melakukan komunikasi simbolik, khususnya melalui bahasa, membedakan manusia dari hewan. Memang benar bahwa hewan pun mampu berkomunikasi. Induk ayam, misalnya, berkotek untuk memanggil anak-anaknya. Namun komunikasi yang dilakukan oleh hewan itu merupakan respons-respons langsung terhadap peristiwa­peristiwa di lingkungan sekitamya, yang terprogram secara genetik. Bentuk dan arti sinyal-sinyal yang diberikan oleh hewan itu sudah fiks, baku, dan tak bisa berubah. Burung-burung selalu menyanyikan nyanyian yang sama. Seekor burung tak dapat mengaransir nada-nada nyanyiannya untuk menghasilkan lagu-lagu baru. Pesan-pesan yang dapat diberikan oleh hewan pun hanya berkenaan dengan situasi­situasi tertentu, misalnya ketika ada bahaya, ada musuh, ada makanan, dan lain-lain.

Sebaliknya, komunikasi-komunikasi manusia tersusun dengan saksama mulai dari hal-hal yang khusus atau partikular hingga mencapai hal-hal yang sangat abstrak ("Allah adalah cinta"). Dengan bahasa, manusia memberikan informasi tentang pelbagai hal di masa lampau. Dengan bahasa kita bisa menyusuri kembali masa lampau dan mempertimbangkan masa depan. Dengan bahasa kita dapat mendiskusikan pelbagai hal yang belum pemah kita lihat. Dengan bahasa kita dapat mengkomunikasikan ide-ide yang abstrak. Dengan bahasa kita dapat mengungkapkan pengalaman, menyatakan kegembiraan dan rasa sakit. Dengan bahasa kita pun bisa mengatakan "Saya sakit, tolong panggilkan seorang dokter", dan lain-lain.

Namun bahasa bukan sekadar sarana komunikasi atau sarana mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa manusia menciptakan dunianya yang khas manusiawi (kebudayaan). Dengan bahasa manusia membangun cara berpikir. Dengan bahasa manusia bahkan menciptakan dirinya sendiri.

Dalam kehidupan masyarakat kontemporer, bahasa semakin penting artinya, yakni sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu dan teknologi modern-canggih. Tanpa bahasa ilmu dan teknologi modem tak dapat berkembang maju. Kemampuan berbahasa secara baik dan benar merupakan syarat bagi pengembangan ilmu dan teknologi mo­dem-canggih. Bahasa yang kacau menunjukkan kekacauan cara berpikir si pemakai bahasa.

Ada bahasa lisan, ada bahasa tulisan (dengan bermacam­macam ragamnya seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah), dan ada pula bahasa tubuh. Makna bahasa lisan tergantung dari bunyi-bunyi, suara­suara yang dikeluarkan dari mulut manusia. Makna bahasa tulisan tergantung dari susunan simbol-simbol. Dan makna bahasa tubuh tergantung dari gerak-gerik atau mimik-mimik tubuh.

Apa yang disebut bahasa itu bukan sekadar daftar kata-kata yang dipergunakan manusia. Sintaksis, atau ketentuan-ketentuan untuk mengkombinasikan serta memodifikasi kata-kata sama pentingnya (Bourdieu, 1982). Semua bahasa mempunyai aturan-aturan tertentu untuk membuat pemyataan, untuk mengajukan pertanyaan, untuk mengingkari sesuatu, untuk memakai ungkapan pasif atau aktif, dan sebagainya.

Berbeda dengan bahasa hewan, bahasa manusia jauh lebih fleksibel. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bahasa merupakan seperangkat simbol dan tata aturan untuk menggunakan simbol-simbol dalam kombinasi-kombinasi yang penuh arti (Lyons, 1968). Kita tidak hanya berbahasa dengan orang lain, tetapi juga dengan diri kita sendiri. Di saat kita send irian pun kita sebenamya berbahasa. Apa yang disebut "berpikir" sebenamya merupakan suatu percakapan dengan diri kita sendiri. Isi pikiran memang lebih luas daripada bahasa. Namun berpikir tanpa bahasa adalah nonsense. Bahkan untuk bermimpi pun diperlukan bahasa. Tanpa bahasa kita tak pemah tahu tentang mimpi. Jadi, di dalam tidur pun manusia tetap membutuhkan bahasa.

g. Kesenian

Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik. Itu tidak berarti bahwa semua bentuk seni dikembangkan dalam setiap kebudayaan. Bagaimanapun kebutuhan akan ekspresi estetis berkaitan dengan karakteristik-karakteristik dasar masing-masing masyarakat. Tidak ada masyarakat-bangsa yang memiliki karakteristik-karakteristik dasar yang sarna. Karena itu, setiap bangsa memiliki ekspresi-ekspresi estetis yang khas. Apa yang disebut universalitas seni tidak terletak pada corak dan bentuk ekspresi seni, melainkanpada kenyataan bahwa ekspresi seni itu terdapat di setiap kebudayaan.

Melalui karya-karya seni, seperti seni sastra, musik, tari, lukis, dan drama, manusia mengekspresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita, serta perasaan-perasaannya. Banyak hat pada pengalaman manusia yang tak terungkapkan dengan bahasa rasional, dan hanya dapatdiungkapkan dengan bahasa simbolik: seni. Itu tidak berarti bahwa karya seni bersifat irrasional atau anti rasional, melainkan bahwadi dalamnya direalisasikan nilai yang tak mungkin diliputi oleh fungsi akal (Bakker, 1984:46). Dalam hal ini karya-karya seni mengungkapkan makna­makna hakiki yang hanya dapat ditangkap dengan kepekaan perasaan estetis yang tinggi.

Selain itu, karya-karya seni pun merupakan media komunikasi. Melalui suatu karya seni, seorang seniman mengkomunikasikan suatu permasalahan ataupun suatu pengalaman batin kepada orang lain. Tidak hanya itu. Melalui karya seni, sang artis pun dapat mengkomunikasikan kebenaran kepada orang lain. Dengan demikian, sang seniman pun memanusiawikan diri dan sesamanya. Melalui objek-objek estetis, hasil karya manusia, orang tidak saja menikmati keindahan, tetapi juga menemukan kebenaran yang menghibur dan menguatkan langkah hidupnya.

Tidak semua pakar kebudayaan merinci unsur-unsur kebudayaan seperti terpapar di atas. Menurut Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan, sebagai berikut: (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem sosial dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian hidup, dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Katanya, ketujuh unsur kebudayaan ini bersifat universal, karena terdapat dalam semua kebudayaan yang ada di dunia, baik dalam kebudayaan masyarakat pedesaan maupun dalam kebudayaan masyarakat perkotaan.

1.3. Wujud Kebudayaan

Sebagai produk manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia sebagai makhluk historis. Sebagai ekspresi eksistensi manusia, kebudayaan pun berwujud sesuai dengan corak dasar keberadaan manUSIa.

Dari wujud eksistensinya, manusia adalah kesatuan substansial antarp prinsip material dan prinsip spiritual. Kedua wujud eksistensi manpsia ini pun terjelma dalam wujud kebudayaan material dan wujud keb'Udayaan spiritual sebagaimana sudah disinggung di muka.

Dari segi modus eksistensi atau cara beradanya, manusia adalah makhluk yang berpikir, yang melakukan aktivitas-aktivitas sosial, dan yang menghasilkan produk-produk berupa benda-benda tertentu. Modus eksistensi manusia yang demikian terjelma dalam wujud kebudayaan ideal, kebudayaan perilaku (aktivitas sosial), dan kebudayaan fisiko Atau seperti ditandaskan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, yakni wujud ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisiko Selanjutnya kita akan melihat satu per satu wujud kebudayaan sebagaimana dilukiskan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974:5-8; lihat juga karyanya Pengantar Jlmu Antropologi, 1985: 186-189).

a. Wujud Ideal

Wujud ideal adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud ini disebut ideal, karena sifatnya yang abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Ia terdapat dalam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup.

Menurut Koentjaraningrat, wujud ideal kebudayaan disebut juga adat tata-kelakuan, atau disingkat saja dengan adat, atau dalam bentuk jamaknya adat-istiadat. Disebut tata-kelakuan, karena fungsinya sebagai pengatur, pengendalian, dan pemberi arah bagi kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Adat mempunyai beberapa lapisan, yakni: sistem nilai budaya, norma-norma, sistem hukum, dan peraturan­peraturan khusus. Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling abstrak dari adat. Yang dimaksud dengan sistem nilai budaya adalah konsepsi­konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bemilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Lapisan kedua, yaitu sistem norma-norma adalah lebih konkret, dan sistem hukum yang berdasarkan norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai pelbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia, seperti aturan sopan­santun, merupakan lapisan adat-istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.

b. Sistem Sosial

Manusia tidak hanya berpikir dan mencetuskan ide-ide. Manusia juga tidak hanya berharap dan mencita-citakan sesuatu yang baik. Manusia pun berusaha mewujudkan apa yang dipikirkan dan dicita­citakannya. Untuk itu dia harus melakukan pelbagai aktivitas. Dia tidak melakukan aktivitas-aktivitas secara individual, melainkan secara sosial. Hanya melalui kerja sarna dengan orang lain, manusia berhasil mewujudkan cita-cita individual dan sosial.

Masyarakat dengan segala norma yang dimilikinya merupakan dasar aktivitas manusia. Dalam suatu tatanan sosial, manusia melakukan pelbagai aktivitas budaya. Dibandingkan dengan wujud ideal, wujud kebudayaan yang disebut sistem sosial itu lebih konkret.

c. Kebudayaan Fisik

Kebudayaan fisik meliputi semua benda atau objek fisik hasil karya manusia, seperti rumah, gedung-gedung perkantoran, jalan, jembatan, me sin-me sin, dan sebagainya. Karena itu sifatnya pun paling konkret, mudah diobservasi, diraba. Kebudayaan fisik merupakan hasil dari aktivitas sosial manusia.

Uraian terpapar di atas secara sepintas memperlihatkan adanya pengaruh satu arah dari wujud kebudayaan ideal kepada sistem sosial, kemudian kepada kebudayaan fisik, seakan-akan tidak ada pengaruh sebaliknya dari kebudayaan fisik kepada kebudayaan ideal dan sistem so sial atau kegiatan manusia. Namun yangsesungguhnya terjadi ialah adanya pengaruh timbal-balik antara ketiga wujud kebudayaan tersebut. Tidak hanya kebudayaan ideal yang mempengaruhi kegiatan manusia, tidak hanya kegiatan manusia yang menentukan kebudayaan fisik, tetapi kebudayaan fisik pun pada gilirannya mempengaruhi kebudayaan ideal dan kegiatan manusia. Itulah dialektika yang menandai proses perkembangan kebudayaan dari masa ke masa.

1.4. Ciri-Ciri Kebudayaan

1. Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya, kebudayaan adalah ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan atau Dewa. Manusia adalah pelaku sejarah dan kebudayaannya.

2. Kebudayaan selalu bersifat sosial. Artinya kebudayaan tidak pemah dihasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama. Kebudayaan adalah suatu karya bersama, bukan karya perorangan.

3. Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya, kebudayaan itu diwariskan dari generasi yang satu ke generasi lainnya melalui suatu proses belajar. Kebudayaan berkembang dari waktu kewaktu karena kemampuan belajar manusia. Tampak di sini bahwa kebudayaan itu selalu bersifat historis, artinya proses yang selalu berkembang.

4. Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan merupakan ekspresi, ungkapan kehadiran manusia. Sebagat ekspresi manusia, kebudayaan itu tidak sama dengan manusia. Kebudayaan dlsebut simbolik, sebab mengekspresikan manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan dirinya.

5. Kebudayaan adalah sistem pemenuhan pelbagai kebutuhan manusia. Tidak seperti hewan, manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan cara-cara yang beradab, atau dengan cara-cara manusiawi. Hewan, misalnya, tidak mampu mengolah makanan hmgga terasa enak dan lezat untuk disantap. Hewan, kalau lapar, langsung saja mencaplok bahan-bahan mentah yang disediakan alam baginya. Sedangkan manusia harus mengolah terlebih dahulu bahan makanan dari ladang yang digarapnya dengan teknik-teknik tertentu, sehingga makanannya pantas untuk disantap. Meskipun sangat lapar, manusia temyata bisa menahan diri seandainya makanan belum tersedla di meja makan. Pokoknya, cara manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya berbeda dengan cara hewan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

1.5. Dinamika Perubahan Kebudayaan

Tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Setiap individu, dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai dengan kepribadian mereka dan sesual. dengan tuntutan zamannya. Terkadang diperlukan banyak penyesualan, dan banyak tradisi masa lampau ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman baru. Generasi baru tidak hanya mewarisi suatu edisi kebudayaan baru, melainkan suatu versi kebudayaan yang direvisi.

Kebudayaan pun mengalami perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pernbahan yang disebabkan oleh perubahan dalam lingkungan alam, misalnya perubahan iklim, kekurangan bahan makanan atau bahan bakar, atau berkurangnya jumlah penduduk. Semua ini memaksa orang untuk beradaptasi. Mereka tidak dapat mempertahankan cara hidup lama tetapi harus menyesuaikan diri dengan situasi dan tantangan baru.

Kedua, perubahan yang disebabkan oleh adanya kontak dengan suatu kelompok masyarakat yang memiliki norma-norma, nilai-nilai, dan teknologi yang berbeda. Kontak budaya bisa terjadi secara damai, bisa juga tidak, bisa dengan sukarela, bisa juga dengan terpaksa, bisa bersifat timbal-balik (hubungan perdagangan atau program pertukaran pelajar dan mahasiswa), bisa juga secara sepihak (invasi militer).

Ketiga, perubahan yang terjadi karena discovery (penemuan) dan invention (penciptaan bentuk baru). Discovery adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakikat suatu gejala atau hakikat hubungan antara dua gejala atau lebih (Parsudi Suparlan, 1986). Discovery biasanya membuka pengetahuan baru tentang sesuatu yang pada dasamya sudah ada. Misalnya, penemuan bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi, melainkan bumilah yang mengelilingi matahari membawa pernbahan besar dalam pemahaman manusia tentang alam semesta. Invention adalah penciptaan bentuk baru dengan mengkombinasikan kembali pengetahuan dan materi-materi yang ada. Misalnya penciptaan mesin uap, pesawat terbang, satelit, dan sebagainya.

Keempat, pernbahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau suatu bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di tempat lain. Pengadopsian elemen-elemen kebudayaan yang bersangkutan dimungkinkan oleh apa yang disebut difusi, yakni proseRpersebaran unsur-tlnsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya. Melalui difusi, misalnya, teknologi komputer yang dikembangkan oleh bangsa Barat diadopsi oleh pelbagai bangsa di dunia. Gejala ini menunjukkan adanya interdependensi erat antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lain. Pengadopsian semacam ini membawa serta perubahan-perubahan sosial secara mendasar, karena elemen kebudayaan material semacam komputer, mobil, traktor, televisi, dan sebagainya itu bisa mengubah seluruh sistem organisasi sosial.

Kelima, perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena penibahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Perubahan ini biasanya berkaitan dengan munculnya pemikiran ataupun konsep baru dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama. Kebudayaan Yunani kuno misalnya, secara langsung dibentuk oleh filsafat yang muncul di sana pada abad ke-6 SM, dan yang mencapai puncaknya dalam pemikiran filsuf- filsuf terkemuka seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsamodern pun dibentuk langsung oleh ilmu modern. Begitu pula munculnya suatu agama membawa perubahan dalam seluruh karakter suatu kebudayaan, sebagaimana tampak dalam transformasi peradaban kuno oleh agama Krfsten, dan transformasi masyarakat Arab oleh agama Islam. Dalam contoh tersebut, para nabi dan reformator religius memiliki suatu pandangan baru tentang realitas kehidupan.

1.6. Tahap-Tahap Perkembangan Kebudayaan

Kebudayaan manusia terus berkembang sejalan dengan proses perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam bukunya, Strategi Kebudayaan, CA. Van Peursen menjelaskan tiga tahap perkembangan, yakni tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.

a. Tahap Mitis

Yang dimaksud dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib yang ada di sekitarnya, yaitu kekuasaan-kekuasaan dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam pelbagai mitologi bangsa primitif.

Tahap ini mencakup kebudayaan primitif, di mana rasio atau akal budi manusia belum berperan. Namun dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih tampak, yakni pada tipe manusia yang mengandalkan hldupnya pada kekuatan-kekuatan gaib. Luasnya praktek perdukunan seperti terjadi dalam masyarakat kita, merupakan salah satu contoh konkret adanya sikap mitis dalam kehidupan kontemporer dewasa ini.

Tahap ini memiliki segi negatif, yakni praktek magi. Dengan magic atau ilmu sihir manusia berusaha menguasai dan mengendalikan orang-orang lain dan proses-proses alam. Dengan ilmu sihir manusia . bisa mencehikakan sesamanya.

b. Tahap Ontologis

Dalam tahap ontologis manusia tidak lagi hidup dalam kepungan dunia mitis. Manusia secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal yang ada dalam alam ini. Dalam tahap ini manusia mulai mengambil Jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai gaib. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi=sesuatu, ada, realitas) menurut perinciannya (ilmu­ilmu). Ilmu-ilmu mulai berkembang dalam tahap ini.

Namun tahap ini pun memiliki segi negatif, yaitu substansialisme, yaitu usaha untuk menjadikan manusia dan nilai-nilainya seperti benda, barang-barang atau substansi yang terpecah, lepas yang satu dari yang lain. Di sini manusia cenderung memandang sesamanya sebagai objek yang terpisah dari dirinya, seperti halnya dia memandang dunia sebagai suatu objek yang berada di luar dirinya. Dengan demikian manusia pun bisa saling mengobjekkan demi kepentingan masing-masing, seperti halnya pia menggarap alam dunia demi kehidupannya.

c. Tahap Fungsional

Dalam tahap ini manusia tidak lagi terpesona oleh lingkungannya (sikap mitis), iajuga tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap objek-objek penyelidikannya (sikap ontologis). Tetapi ia juga ingin mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya. Sikap dan alam pikiran ini tampak dalam kehidupan manusia kontemporer yang semakin menekankan perlunya hubungan dialogis baik dengan sesama maupun dengan alam.

Namun tahap ini pun memiliki segi negatif, ialah operasionalisme. Dengan operasionalisme, mengarahkan kecenderungan manusia untuk memperlakukan orang lain sebagai buah-buah catur, nomor-nomor dalam seberkas kartu arsip, sekrup dalam sebuah mesin raksasa, sebuah slogan pada spanduk, dan sebagainya. Seperti halnya buah­buah catur dimainkan sesuai dengan strategi yang dirancang oleh si pemain catur, orang lain pun cenderung difungsikan sesuai dengan strategi yangdirancang oleh yang "berkuasa" demi pencapaian tujuannya.

1.7. Pola-pola Kebudayaan

Di kalangan antropolog ada tiga pola yang dianggap sangat penting: evolusi, difusi, dan akulturasi. Landasannya adalah penemuan atau inovasi. Penemuan paling menentukan dalam pertumbuhan kebudayaan dalam arti penemuan sesuatu atau seeara etimologis 'menerima' sesuatu yang baru. Menurut Kroeber, kebutuhan dan faktor kebetulan kecil sekali peranannya dalam menghasilkan penemuan. Sumber terbesarnya adalah "permainan dorongan hati" (impulse). Penemuan di bidang ilmu dan kesenian adalah hasil peningkatan penelltian panca indera. dan aktivitas rasa keindahan orang dewasa, yang menyernpai permainan dalam kehidupan anak kecil atau binatang mamalla.

Bahasan lebih rinci mengenai penemuan, dikemukakan oleh Barnett. Ia membicarakan penemuan sebagai sesuatu yang lumrah di kalangan manusia. Setiap individu pada dasarnya adalah penemu, meskipun kecenderungan dan kemampuan individu untuk menyimpang dari batas-batas normal penyimpangan yang dapat diterima adalah berbeda. Bahan yang digunakan oleh penemu atau pencipta berasal dad dua sumber, yakni kebudayaannya sendiri dan aspek-aspek pengalamannya sendiri yang tak dibuat-buat seperti sifat dan ciri-ciri pisik dan mentalnya sendiri. Jadi baik faktor internal maupun ekstemal membantu menerangkan perbedaan di kalangan individu berkenaan dengan aktivitas penemuan. Barnett sendiri memberikan tekanan khusus pada aspek psikologis dari penemuan dan memperlakukan suasana kebudayaan sebagai kerangka tempat berlakunya faktor psikologis. Hal penting untuk tujuan bahasan kita adalah pendapat Barnett, bahwa penemuan adalah dasar bagi perubahan kebudayaan.

Pernyataan di atas penting karena selain menunjukkan kekhasan pendekatan antropologi juga menunjukkan perbedaan bidang studi antropologi dan sosiologi. Artinya, perubahan tertentu yang mungkin dianggap penting oleh sosiolog, dipandang antropolog hanya sebagai pendahulu perubahan. Sosiolog biasanya memandang perubahan demografis dan perkembangan ekonomi sebagai perubahan penting di dalam kedua bidang itu sendiri maupun sebagai akibat dari perubahan di bidang lain. Tetapi menurut Murdock, proses perubahan di kedua bidang tersebut mungkin menyebabkan penemuan kultural dan perubahan kebudayaan bermula dari proses inovasi, pembentukan kebiasaan baru oleh seorang individu yang kemudian diterima atau dipelajari oleh anggota masyarakat lain.

Penekanan pada penemuan menimbulkan perbedaan penting lain antara pendekatan antropolog dan sosiolog. Antropolog senng melakukan pendekatan mikro, mengidentifikasi unsur-unsur atau ciri-ciri penemuan yang telah menyatu ke dalam kebudayaan, dan karena itu, yang telah mengubah kebudayaan bersangkutan. Sosiolog biasanya menerangkan pengaruh penemu, terutama penemuan teknologi sambil menekankan. pada imlikasinya terhadap hubungan antarkelompok dan antara individu dibandingkan dampaknya terhadap pola kebudayaan. Begitu pula sosiologi lebih menekankan pacta pendekatan makro, dengan mempelajari fenomena seperti perubahan institusional sepanjang waktu.

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian pada konflik antar kelompok sebagai faktor penyebab perubahan. Inovasi dapat menimbulkan konflik, tetapi juga dapat memmbulkan proses kumulatif dengan menambahkan dan menyatukan unsur-unsur temuan baru itu ke dalam poia kebudayaan lama. Menurut pan­dangan sosioIog, tidak semua inovasi menimbulkan perubahan. Temuan baru alat mainan anak-anak atau model mobil, dapat berarti perubahan poia kebudayaan, namun temuan seperti itu kecil atau tak ada pengaruhnya bagi pola interaksi atau bagi struktur antarhubungan manusia.

a. Evolusi

Seperti dalam sosiologi, pernikiran tentang evolusi dalam antropologi adalah hasil pernikiran yang berubah-ubah. Antropolog kuno tergila-gila dengan ide evolusi. Generasi antropolog berikut­nya harnpir fanatik menolak ide ini. Tetapi generasi berikutnya lagi dengan hati-hati menelitinya kembali. Selama perjalanan sejarah ide ini telah dilekatkan makna yang agak berbeda-beda padanya.

Di akhir abad 19 para antropolog sosial mengidentifikasi evolusi menurut pola perkembangan kehidupan kebudayaan rnulai dari bentuk yang rendah hingga ke bentuk yang lebih tinggi. Pola ini ditandai oleh sederetan tingkatan yang berurutan, dan tugas antropolog adalah mengidentifikasi tingkatan itu. Contohnya, Lewis H. Morgan - orang pertarna yang rnenerapkan ide evolusi pada perkernbangan sosial - menelusuri evolusi kebudayaan rnanusia secara berurutan rnulai dari tingkat kekejarnan, kebiadaban, hingga ke tingkat peradaban. Perhatian Morgan ditujukan untuk meng­kategorisasikan masyarakat rnenurut perbedaan ciri-ciri sosial yang dimiliki bersama oleh anggotanya pada tingkat organisasi sosial tertentu dan untuk mernperhatikan rentetan perkembangan setiap tipe organisasi sosial itu. Berbeda dati antropolog lain, Morgan menyadari bahwa penyebaran (difusi) unsur-unsur dari kebudayaan lain, dapat mengganggu urutan perkembangan dan mengubah kebudayaan tertentu. Ringkasnya, Morgan menyatakan, kemajuan kebudayaan sejalan dengan perkembangan teknologi.

Semakin meningkat kontrol manusia atas kehidupannya melalui teknologi baru, semakin berkembang kebudayaannya. Pada awal­nya manusia hanya-sedikit lebih unggul dibanding binatang buas. Melalui mekanisme berbicara, dan dengan penemuan berbagai jenis peralatan dan persenjataan, terjadilah kemajuan kebudayaan dari kekejaman ke peradaban.

Inti tulisan teoritisi evolusi kuno memuat ide bahwa bentuk organisasi sosial paling primitif adalah kekeluargaan matriliniaI. Bentuk ini akhimya menghasilkan bentuk kekeluargaan patrilinial dan patriarkhat karena laki-Iaki memperoleh dorninasi. Akhimya garis keturunan bilateral dan keluarga batih muncul ke penghujung tingkat evolusi. Aspek evolusi kebudayaan ini nampak sedemikian logis dan sangat sesuai dengan seluruh fakta yang diketahui dan benar-benar dapat diterima oleh seluruh ahli ilmu sosial hingga penghujung abad 19.

Tetapi semua aspek kebudayaan berkembang dan berbagai penulis mencurahkan perhatian khusus terhadap berbagai aspek kebudayaan. Edward Tylor menelusuri evolusi keagamaan mulai dari animisme melalui politeisme hingga ke monoteisme. AC. Haddon berbicara mengenai kesenian yang pada tingkat awalnya ditandai oleh 'gambaran realistis' dan di tingkat perkembangannya kemudian ditandai oleh 'gambaran geometris, simbolis atau abstrak'. Agama, kesenian, bahasa, teknologi, dan aspek kebudayaan lainnya kemudian berkembang melalui urutan dan tingkat yang semakin tinggi.

Pemikiran evolusi kuno menurut garis lurus ini mengalami kemunduran di awal abad 20. Pemikiran ini mendapat serangan hampir di semua perkara. Sebagian besar kritikan itu menyangkut perbedaan antara teori dan pengetahuan yang terhimpun mengenai masyarakat primitif. Jika tak seluruhnya, kebanyakan teori evolusi ini didasarkan atas data yang tak memadai dan tak cermat, dan teoritisinya sendiri umumnya tidak melakukan penelitian lapangan yang intensif. Begitu pula, teori evolusi kuno cenderung meremehkan peranan kebudayaan pinjaman, dan antropolog baru cenderung melihat peminjaman kebudayaan ini sangat penting artinya. Terakhir, pemikiran evolusi menurut garis lurus memperkuat sikap etnosentrisme dan menjurus ke arah penghinaan kebudayaan masyarakat yang 'kurang maju'.

Pemikiran evolusi baru, yang muncul setelah yang lama hancur karena serangan kritik mematikan itu, mengurangi mitos perkembangan kebudayaan menurut garis lurus. Pemikiran evolusi baru ini merupakan upaya untuk mensintesiskan pemikiran ahli evolusi kuno dan pemikiran ahli difusi dan fungsional, yang muncuI kemudian. Pemikiran ahli difusi, menekankan sifat mobilitas berbagai unsur kebudayaan dan mencoba mengetahui bagaimana cara berbagai unsur yang membentuk satu kebudayaan tertentu menyatu bersama. Pemikiran ahli teori fungsional menekankan pada saling ketergantungan unsur-unsur kebudayaan, hubungan masing-masing unsur menjadi satu keseluruhan yang penuh makna. Seperti pandangan fungsionalisme sosiologis, pandangan ini­pun temyata tak mampu menerangkan masalah perubahan secara memadai.

Pemikiran evolusionisme baru, mencakup berbagai ide. Beberapa antropolog kontemporer, menyamakan evolusi dengan perubahan. Sedangkan yang lain membayangkan evolusi sebagai pertumbuhan, perkembangan atau kemajuan. Wolf membayangkan evolusi dalam arti perkembangan kumulatif baik kuantitatif maupun kualitatif. Aspek kuantitatif secara tersirat menyatakan tingkatan evolusi menurut skala numerik. Dengan demikian, kebudayaan dapat dibedakan tingkatnya, umpamanya menurut jumlah energi yang digunakan atau menurut ciri-ciri demografis, atau menurut intensitas komunikasi. Aspek kualitatif berarti 'kemunculan komponen-komponen kebudayaan baru, yang memasukkan dan menyatukan komponen yang ada menurut cara baru. Sebagian besar penemuan merupakan penyatuan bagian-bagian yang telah ada sebelumnya menurut cara baru. Negara adalah sebuah penemuan sosial yang menghasilkan perubahan kualitatif dalam organisasi kebudayaan. Perubahan kualitatif utamanya adalah terjadinya perubahan dari bagian-bagian kebudayaan yang sebeiumnya tidak terspesialisasi menjadi kebudayaan yang berfungsi atas dasar bagian bagian yang terspesialisasi. Artinya, perubahan dari masyarakat pemburu dan pengumpul makanan ke bentuk masyarakat yang lebih rumpil.

Sejumlah antropolog telah mencurahkan perhatian yang lebih rinci pada perkembangan pemikinln evolusi. Di sini akan dibahas pemikiran tiga orang antropolog: Leslie White, Julian Steward, dan tim peneliti Marshall Sahlins dan Elman Service dkk. Masing­masing mewakili pemikiran evolusi modem pendekatan yang berbeda.

Leslie White menyatakan bahwa ia lebih memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai satu keseluruhan ketimbang pada kebudayaan-kebudayaan khusus. Seperti Durkheim, White menolak peranan faktor psikologis dan teori perkembangan 'manusia agung'. Perilaku manusia harus dipahami menurut kebudayaan. Bila manusia bersaing misalnya, itu bukan karena ia mempunyai sifat demikian, tetapi karena ia hidup dalam kebudayaan yang bersifat bersaing.

Menurut White, kebudayaan harus dipahami menurut 3 lapisan: lapisan teknologi adalah yang terendah, lapisan sosiologis yang menengah, dan lapisan filosofis yang tertinggi. Artinya, teknologi adalah bidang paling mendasar dan pendorong utama proses kebudayaan. Teknologi dan perkembangannya membentuk sistem sosial, dan falsafah mencerminkan baik sistem sosial maupun teknologi yang melandasinya. Karena itu teknologi menentukan jenis sistem sosial yang ada, dan teknologi bersama masyarakat menentukan sifat falsafah. Terdapat pengaruh timbal-balik antara ketiga lapis kebudayaan itu namun arah hubungan kausal antara ketiganya dimulai dari teknologi ke masyarakat dan ke falsafah.

Kebudayaan adalah proses yang bersifat simbolis, berkelanjutan, kumulatif, dan maju (progresif). Kebudayaan adalah proses simbolis dalam arti bahwa manusia adalah simbol binatang (terutama binatang yang menggunakan bahasa). Berkelanjutan karena sifat simbolis kebudayaan memungkinkannya dapat dengan mudah diteruskan dari seorang individu ke individu lain dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akumulatif dalam arti unsur­unsur baru terus menerus ditambahkan kepada kebudayaan yang ada. Kebudayaan bersifat progresif dalam arti mencapai kontrol yang semakin meningkat terhadap alam dan semakin menjamin kehidupan yang semakin baik bagi manusia.

Dengan kata lain, kebudayaan adalah fenomena yang menghasilkan sendiri, mencakup kehidupan individu dan karena itu dapat menjelaskan seluruh perilaku manusia. Argumen White jelas terlihat dalam bahasannya mengenai inovasi. Tak ada penemuan atau inovasi (dan akibatnya tak ada per­ubahan) dapat muncul kecuali bila perkembangan kebudayaan telah mencapai satu titik yang dapat menambahkan satu unsur baru. Lebih penting lagi, bila perkembangan kebudayaan telah mencapai titik tersebut maka unsur kebudayaan barn itu akan muncul terlepas dari keinginan manusia. Dukungan utama atas pernyataan terakhir ini adalah penemuan atau penciptaan yangterjadi di sepanjang sejarah secara serentak. Daftar penemuan atau penciptaan seperti itu sungguh mengesankan. Di antaranya termasuk penemuan teknologi seperti telegrap, pemecahan masalah matematika seperti kalkulus, dan perumusan hukum-hukurn ilmiah seperti mengenai hukum perilaku gas. Dengan kata lain, perkernbangan kebudayaan merupakan satu proses yang berlangsung sendiri dalam arti terlepas dari individu tertentu, termasuk individu yang kita anggap kreatif. Karena itu kemunculan suatu penemuan tidak tergantung pada seorang individu khusus.

Meskipun manusia pada dasarnya sama dilihat dari sudut intelijensia dan susunan biologisnya, namun kebudayaan telah tumbuh menurut deret hitung. Pertumbuhan ini harus dipahami menurut sifat kebudayaan. itu sendiri, bukan menurut aktivitas manusia tertentu. Evolusi kebudayaan adalah sebuah fen omena sui­generis. Evolusi kultural adalah seperti proses penutupan yang menelan manusia dan mau tak mau membawa manusia ke masa depan.

Pendekatan evolusi lain dikemukakan oleh Julian Steward yang menciptakan gagasan mengenai evolusi menurut garis lurus banyak (multilinear). Menurut Steward, ada tiga pendekatan utama untuk memahami perkembangan kebudayaan.

1. Pendekatan teoritisi evolusi kuno dan teori yang menganggap perkembangan evolusi menurut garis lurus.

2. Pendekatan teoritisi 'relativitas kebudayaan' yang melihat perkembangan kebudayaan pada dasarnya berbeda-beda dan yang meneoba mengidentifikasi ciri-ciri kebudayaan yang membedakan antara satu masyarakat dan masyarakat lain.

b. Pendekatan evolusi multiliner. Evolusi multilinear adalah sebuah penegasan bahwa ada keteraturan persilangan kebudayaan yang berarti tetapi keteraturan itu harus menyinggung seluruh masyarakat manusia. Kebudayaan berkembang menurut sejumlah garis yang berbeda; kitadapat menggambarkan perkembangannya itu seperti sebatang pohon yang bereabang banyak. Pada waktu bersamaan terdapat keteraturan persilangan kebudayaan atau kesejajaran sejarahnya. Kesejajaran ini muncul dari kenyataan bahwa perubahan kebudayaan dihasilkan dari adaptasi terhadap lingkungan. Proses adaptasi serupa dalam lingkungan serupa, menghasilkan keteraturan persilangan kebudayaan.

Steward menyebut proses adaptasi itu sebagai 'ekologi kebudayaan'. Masalah yang dihadapkan kepada kita oleh ekologi kebudayaan ini adalah menentukan apakah penyesuaian diri anggota masyarakat terhadap lingkungan mereka memerlukan cara­cara berperilaku khusus atau apakah penyesuaian diri itu mem­benkan ruang gerak bagi pola perilaku tertentu atau tidak. Jelas, ini berarti penentuan sejauh mana perilaku ditentukan oleh faktor lingkungan. Metode ekologi kebudayaan ini meliputi:

1. analisis antar hubungan antara teknologi dan lingkungan;

2. analisis pola perilaku yang timbul dalam mengolah kawasan tertentu dengan alat teknologi tertentu dan

3. menentukan seberapa jauh pola perilaku mempengaruhi berbagai bidang lain dari kebudayaan.

Dalam membandingkan kebudayaan, dalam meneliti keteraturan persilangan kebudayaan, analisis dipusatkan pada aktivitas substensi dan pola-pola ekonomi. Masyarakat-masyarakat yang persliangan kebudayaannya akan dibandingkan itu harus berada pada tingkat integrasi sosiokultural yang sama dan harus berada pada tipe kebudayaan yang sarna pula. Bahkan bila kita temukan keteraturannya, itupun hanya akan menyinggung aspek-aspek kebudayaan yang terbatas saja. Dengan kata lain tidak menyinggung keseluruhan aspek kebudayaan sebagai satu kesatuan. Kita dapat mengira, misalnya akan menemukan persilangan tipe hubungan kekeluargaan, tipe keagamaan, atau tipe pemerintahannya.

Begitulah, Steward telah meneoba menghindari kekeliruan analisis yang dilakukan oleh teoritisi evolusi kuno dan menyajikan sebuah teori evolusi yang menggabungkan pendekatan generalisasi dan historis menjadi pendekatan antropologi sosial. Sayangnya, la membuat pemyataan yang terIalu sederhana ketimbang menyajikan teori dan metode yang agak rumpil, dan kita tak terdorong menganggap karyanya lebih dari sebuah upaya menarik untuk menegaskan evolusi sementara membuang kesalahan teoritisi evolusi kuno.

Karya terakhir yang akan dibahas adalah dari Sahlin dan Service yang memberikan pola-pola dasar evolusi sebagai kebalikan dari evolusi inorganik (peningkatan kekacauan yang berakhir dengan homogenitas). Menurut mereka evolusi kebudayaan ditandai oleh peningkatan organisasi, konsentrasi energi yang semakin tinggi, dan peningkatan heterogenitas. Selanjutnya, evolusi menyangkut baik peningkatan dan perbedaan maupun kemajuan dan variasi. Kedua bidang ini disebut Evolusi Umum dan Evolusi Khusus.

Dengan kata lain, evolusi adalah kemajuan yang ditandai gerakan serentak kedua arah. Di satu sisi, terciptanya keanekaragaman melalui perubahan kemampuan menyesuaikan diri: bentuk-bentuk baru dibedakan dati yang lama. Di lain sisi, evolusi menimbulkan kemajuan; bentuk-bentuk yang lebih tinggi muncul dari, dan melampaui yang lebih rendah. Meskipun kedua proses itu terjadi serentak, namun perlu disadari bahwa perubahan kebudayaan harus dilihat dari salah satu di antara kedua sudut pandangan tersebut. Kita dapat menganalisis perubahan menurut kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) atau menurut kemajuan umum.

b. Difusi

Meskipun minat terhadap evolusi hidup kembali, pendekatan lebih umum atas perubahan kebudayaan dipusatkan pada proses difusi atau akulturasi. Kedua hal ini akan dibahas berikut ini.

Kita telah membahas difusi sebagai proses yang menyebarkan penemuan (inovasi) ke seluruh lapisan satu masyarakat atau ke dalam satu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut pendekatan antropologi, difusi mengacu pada penyebaran unsur-unsur atau ciri-ciri satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Tetapi beberapa antropolog memperdebatkan hal ini. Malinowski menyatakan, difusi takkan dapat dipelajari kecuali bila kita mengambil sistem organisasi atau institusi sebagai unit-unit yang disebarkan ketimbang ciri-ciri atau kompleks ciri-ciri kebudayaan. Definisi yang lebih umum menegaskan bahwa difusi adalah penyebaran aspek tertentu dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.

Teori difusi muncul sebagai alternatif bagi teori evolusi. Namun demikian teori difusi telah memberikan koreksi yang perlu bagi teoritisi evolusi. Pola perkembangan kebudayaan takkan dapat dipahami sebagai sederetan tingkat yang dilalui setiap kebudayaan meskipun kebudayaan itu berada dalam keterasingan. Kebudayaan berinteraksi dan interaksi itu sangat penting peranannya bagi perubahan.

Proses difusi jelas juga mempengaruhi orang primitif. Kroeber memberi contoh mengenai pipa rokok. Kebiasaan merokok berasal dari Amerika tropis di mana tembakau adalah tanaman pribuminya (Indian). Tembakau tersebar ke seluruh Amerika Tengah dan Utara melalui kebiasaan merokok sigaret maupun pipa rokok di berbagai kalangan penduduk. Orang Eskimo rupanya tak mengenal rokok hingga akhir abad 19. Mereka meminjam kebiasaan merokok dari para pedagang yang melintasi selat Bering. Pedagang itu menerimanya dari penyebarannya melintasi Eropa dan Asia; sumber penyebarannya adalah orang spanyol yang mereka terima sebagai hasil kontak penjelajah Spanyol dengan orang Indian Amerika tropis. Jadi kebiasaan merokok dengan pipa men­capai orang Eskimo setelah mengalami proses difusi ke seluruh du­nia.

Jelaslah, difusi merupakan pola perubahan penting. Masalahnya, bagaimana cara menggunakan konsep difusi selaku perala tan analisis. Artinya, masalah teori dan metode apa yang tercakup dalam studi difusi kebudayaan? Masalah utamanya adalah bagaimana cara menentukan apakah aspek kebudayaan tertentu merupakan hasil difusi atau hasil inovasi di dalam kebudayaan bersangkutan. Masalah ini dipersulit oleh kenyataan bahwa difusi sangat sering menyangkut modifikasi maupun pemindahan. Sebagai contoh, orang Jepang terkenal karena keinginan mereka untuk meminjam secara bebas dari kebudayaan lain dan juga terkenal kecenderungan mereka memberikan corak 'ke-Jepang-an' tersendiri kepada aspek kebudayaan asing yang mereka pinjam.

Masalah difusi lain termasuk masalah laju difusi dan faktor­faktor yang berkaitan dengan variabel sosiokultural yang merin­tangi atau mempermudah proses difusi. Masalah difusi ini telah menarik perhatian sosiolog maupun antropolog sehingga kedua cabang ilmu sosial ini memberikan sumbangan berarti kepada pemahaman kita mengenai penyebaran (difusi) penemuan baru dan berbagai aspek kebudayaan lainnya.

c. Akulturasi

Akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Sebagaimana difusi, tak ada definisi akulturasi yang memuaskan. setiap antropolog. Definisi kita di atas serupa dengan definisi antropolog klasik Redfield, Linton, dan Herskovits: "Akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok itu". Menurut definisi ini, akulturasi hanyalah satu aspek saja dari perubahan kebudayaan. Sedangkan difusi hanyalah satu aspek dari akulturasi. Begitu pula, difusi selalu terjadi dalam proses akulturasi, tetapi tak dapat terjadi tanpa berlanjutnya kontak langsung yang diperlukan bagi akulturasi.

Karena itu, akulturasi berarti mempunyai pengaruh Iebih besar ketimbang difusi, setidaknya dalam arti kebudayaan lain yang dipengaruhi akan lebih menyerupai kebudayaan yang mempengaruhi. Kroeber secara khusus mendefinisikan akulturasi sebagai proses perubahan di mana terjadi "peningkatan keserupaan" antara dua kebudayaan. Difusi adalah satu ide yang lebih bersifat mikro; karena meskipun Malinowski menegaskan institusilah ketimbang ciri-ciri kebudayaan yang menjadi unit difusi; tetapi kebanyakan studi tentang difusi memusatkan perhatianpada unsur-unsur khusus kebudayaan. Meskipun kita meneliti difusi sebuah institusi, namun studi itu masih lebih mikro daripada akulturasi, yang meLibatkan dua kebudayaan yang saling membombardir dengan ratusan atau ribuan unsur-unsur kebudayaan yang disebarkan.

Jadi akulturasi adalah pola perubahan di mana terjadi penyaluran antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat terjadi menurut sejumlah Cara. Kolonisasi, perang, penaklukan dan pendudukan militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan, adalah sebagian di antara cara-cara yang memungkinkan dua ke­budayaan dapat melanjutkan kontak. Lagi pula, media massa, terutama media cetak, radio dan TV, menghubungkan orang di seluruh dunia.

Studi akulturasi klasik memusatkan perhatian pada sejenis kontak khusus. Akulturasi dianggap terjadi sebagai akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang lemah dan terkebelakang. Selanjutnya, akulturasi bukan hanya dihasilkan dari interaksi saja, tetapi dari rencana yang disengaja oleh kebudayaan yang kuat. Pemerintah kolonial misalnya mencoba "membudayakan" orang Afrika. Biro Drusan Orang Indian di AS, mencoba "membudayakan" orang Indian Amerika. Dalam kedua jenis situasi ini, penggunaan istilah "penyatuan", jelas menyesatkan. Kedua kebudayaan justru tidak bertemu menjadi satu sintesis, tetapi yang lebih lemah menjadi semakin menyerupai yang lebih kuat. Jelas ini berarti bahwa hasil akhir dari proses akulturasi adalah lenyapnya kebudayaan yang lemah dan terkebelakang.

Dohrenwend dan Smith mengemukakan 4 kemungkinan arah perubahan yang dapat dihasilkan dari kontak antara dua kebudayaan:

1. Pengasingan, menyangkut pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota pendukung satu kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain;

2. Reorientasi, menyangkut perubahan ke arah penerimaan struktur normatif kebudayaan lain;

3. Penguatan kembali (reaffirmation), kebudayaan tradisional diperkokoh kembali;

4. Penataan kembali, kemunculan bentuk-bentuk baru seperti yang ditemukan dalam gerakan utopia.

Ada kemungkinan timbulnya hasil lain dari kontak kebudayaan di luar dari yang ditunjukkan Dohrenwend dan Smith itu. Meskipun tak biasa terjadi, ada kemungkinan kontak antara dua kebudayaan, benar-benar tidak menghasilkan akulturasi. Ini pernah terjadi dalam kasus suku-suku tertentu di India bagian selatan. Meskipun terjadi kontak yang erat dan terus-menerus antara suku-suku itu, namun tak ada bukti yang menunjukkan mereka saling mempengaruhi. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena perbedaan orientasi mata pencaharian antara suku­suku itu. Satu suku hidup mengembala ternak, suku lain bertani, suku ketiga pengrajin dan keempat pengumpul makanan di hutan dan tukang sihir. Masing-masing suku mempunyai pusat perhati­annya sendiri, dan kecil sekali kontribusinya terhadap yang lain. Lagi pula, interaksi sosial antara suku-suku itu diatur dengan ketat. Sebagai contoh, suku tukang sihir sering datang untuk meladeni kebutuhan anggota suku lain. Bila seorang tukang sihir datang ke sebuah desa, wanita dan anak-anak di desa bersangkutan bersembunyi masuk ke dalam rumah mereka dan baru keIuar bila si dukun sudah pergi. Dengan kata lain, suku-suku itu mempunyai norma yang mengatur interaksi antara anggota satu suku dengan anggota suku lain dan norma itu biasanya menghalangi jenis kontak tertentu yapg dapat mempermudah akulturasi. Tak sak lagi,

Ringkasnya, akulturasi adalah satu pola perubahan di mana terdapat tingkat penyatuan antara dua kebudayaan. Penyatuan itu dapat menimbulkan perubahan dalam kedua kebudayaan atau terutama dalam salah satu diantara kedua kebudayaan itu. Penyatuan di sini tak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak daripada perbedaannya, tetapi hanya berarti bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin serupa dibanding keadaan sebelum terjadinya kontak antara keduanya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Problema Hidup Manusia Kekinian (Kontemporer)

1. Kondisi Dulu Dan Sekarang

Sejak dikenal pertama kali di India pada abad ke-18, penyakit kolera dianggap sebagai epidemi yang amat menakutkan; penyebarannya begitu cepat, mulai dari Delta Gangga dan dalam kurun waktu tujuh tahun telah menyebar ke daratan Cina, Filipina, Mauritius, Bourbon, dan ke Barat Laut yaitu Persia dan Turki (Goldstein dan Goldstein, 1980). Epidemi kolera akhimya menyebar hampir ke seluruh daratan Asia, Eropa dan Amerika. Pada banyak literatur kita kenal pula beberapa jenis penyakit, seperti malaria, kusta, cacar dan epidemi lain yang pada saat barn dikenal membuat banyak orang, terutama kalangan bawah menjadi giris. Beberapa jenis epidemi di atas, kini dianggap penyakit "biasa" yang bisa dicegah dan diobati. Kalaupun masih ada persepsi, bahwa penyakit kusta, misalnya adalah kutukan Tuhan, tidak mungkin disembuhkan dan penderitanya harus diasingkan, namun secara akademik dapat diobati dan penderita dapat dikembalikan ke kelompok masyarakat kebanyakan (Depsos 1990). Bahkan ontuk penyakit aneh tertentu telah tersedia beberapa jenis obat, mulai dari yang dianggap mujarab sampai dengan obat yang masih dalam proses uji coba.

Pada abad ini, orang juga dikejutkan oleh dua jenis penyakit, yang pertama adalah penyakit AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndroms), dan momok yang kedua adalah penyakit kejutan budaya (Cultural Shock) atau penyakit perubahan yang datangnya terlalu cepat (Toffler, 1989). Penyakit pertama mematikan penderita akibat tekanan virus HIV (Human Immunedeficiency Virus) yang menyebabkan cepat atau lambat tubuh manusia menjadi rontok dan berakhir dengan kematian (Kartono, 1992).

Di tengah-tengah kesibukan para peneliti mengadakan penelitian, seperti di Atlanta, AS, untuk menemukan vaksin yang dapat merontokkan virus HIV, bersamaan dengan itu pula para pakar dari birokrat yang bekerja di departemen kesehatan dan lain-lain menyusun proyeksi jumlah calon penderita penyakit AIDS pada kurun waktu tertentu dan pada skala wilayah negara atau global. Virus HIV, yang tadinya diduga beredar luas di daerah wisata seks dan pelacuran, kini beredar luas pada jarum-jarum suntik atau selang transfusi darah, kontak mulut dan air liur. Oleh karena penyebab dan jenis jalur ekspansinya telah dikenal bukan tidak mungkin dalam waktu dekat akan ditemukan vaksin mujarab yang dapat merontokkan virus HIV ini.

Penyakit kedua oleh Alvin Toffler (1989) dilukiskan sebagai penyakit yang diderita oleh pendatang yang tidak siap, di mana pendatang yang tidak siap menderita karena kejutan budaya. Kejutan budaya, oleh Alvin Toffler (1989) diartikan sebagai efek yang timbul dari suatu kebudayaan yang tidak dikenal pada diri seorang pendatang barn yang tidak siap. Pendatang baru, baik orang seorang atau kolektif menderita "penyakit masa depan yang datang dan berubah terlalu cepat". Kata lain dari penyakit ini adalah penyakit perubahan (change disease), yang merontokkan fungsi ketahanan psikologis dan dapat mengakibatkan penderita mengakhiri hidup denganjalan menggantung diri, minum racun serangga, menjatuhkan diri dari gedung bertingkat atau terjun ke jurang yang dalam. Terapi psikologis, penyuluhan dan santapan rohani, pengajian dan pendidikan, meskipun dapat menolong penderita penyakit kejutan budaya, tapi tidak akan sepenuhnya mampu membuat "tidak" orang yang telah meneruskan "ya". Keputusan "psikologis" amat tergantung pada subjeknya.

Uraian di atas dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa penderitaan orang dari waktu ke waktu sepanjang sejarah selalu ada. Penderitaan selalu ada dari waktu ke waktu, dan perbedaannya hanya terletak pada sumba dan kadar penderitaan, bukan hakikat penderitaan itu sendiri. Pelayanan dan usaha kesejahteraan sosial, seperti pelayanan kesehatan secara luas, aksi dan terapi sosial, konsultasi psikologi, sumbangan bagi korban bencana alam telah merambah ke mana-mana. Sejalan dengan itu angka partisipasi pendidikan, angka efisiensi edukasi (AEE), percapita income, transportasi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial budaya maju pesat. Namun, belum semua orang mampu tumbuh menyangga sendiri atau berswadaya dan berdikari. Banyak orang belum mampu membangun diri sendiri, apalagi ikut membangun orang lain dan bangsanya. Antara 1970 - 1980-an misalnya, di Indonesia angka ketergantungan berada pada angka tetap 87, artinya, satu penduduk usia produktif harus menanggung 87 orang lain yang belum produktif atau telah melampaui usia produktif (Santoso, 1986). Seandainya seorang pekeIja harian, buruh pabrik hanya dengan gaji Rp 1.650,­per hari ditambah dengan transpor seadanya, tidak mungkin baginya memenuhi kebutuhan fisik minimal (KFM), apalagi kebutuhan hidup minimal (KHM). Kondisi semacam itu menimbulkan lingkaran setan yang soot diputus, di mana penghasilan terbatas akan mengakibatkan gerak langkah seluruh tatanan kehidupan terbatas, tennasuk dalam usaha menata hidup sehat, memenuhi kebutuhan pendidikan anak dan kerja kemasyarakatan.

Di negara yang berasaskan kekeluargaan, seperti Indonesia, usaha gotong royong, toleransi sosial dan saling menghargai masih sangat menonjol, baik diorganisasikan maupun spontanitas. Di negara-negara kapitalis, kecenderungan individualisasi makin menonjol, hubungan antara individu hanya atas dasar kontrak atau ikatan keorganisasian Di kota-kota besar dan di negara-negara maju makin menonjol usaha tidak sehat dan anti sosial. Kemenangan individu, oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) dalam Megatrends 2000 dilukiskan sebagai isyarat kematian usaha kolektif. Individualisasi dalam latar belakang kehidupan kemasyarakatan di negara kita harus dihindari, meskipun keunggulan individual tidak dilarang. Bangsa Indonesia memerlukan individu-individu yang unggul, sekaligus menjadi pemerhati atau peduli dengan masalah­masalah sosial di sekitamya.

Satu dimensi yang turut mempercepat tumbuhnya problema psikologis, kecemburuan sosial dan rasa ingin memenuhi kebutuhan tanpa batas adalah nafsu duniawi manusia. Manusia yang dilahirkan di muka bumi ini secara naluriah punya nafsu, namun barangkali, tidak semua manusia ditakdirkan menjadi budak nafsu.

Nafsu yang berlebihan, seperti nafsu mengejar kekayaan, secara fisik banyak untungnya, namun secara psikologis dapat jadi beban berkepanjangan. Mengejar halta kekayaan tidak ada batasnya, laksana mengejar asap, makin dikejar kian jauh. Yang dapat membatasinya adalah nurani manusia sendiri. Rasa ingin memenuhi kebutuhan secara tidak terbatas akan menimbulkan beban psikologis dan rasa tidak cukup berkepanjangan (Maslow, 1984). Dengki, iri hati dan cemburu melihat orang "di atas " yang selalu lebih unggul merupakan sisi lain dari sumber penyakit psikologis, yang dalam buku ini disebut penyakit nafsu duniawi. Penyakit nafsu duniawi merupakan akibat dari sikap yang berpandangan selalu ke atas, tidak sanggup bersaing dan tidak dapat menekan nafsu kebendaan. Ada cara praktis yang dapat dipakai untuk menghilangkan penyakit nafsu sosial, nafsu tak terbatas, yaitu dengan jalan menempatkan dimensi berusaha dan menikmati hasil usaha secara berbanding terbalik.

Berusaha di pelbagai sektor ditujukan pada proses penyamaan diri dengan orang lain yang menduduki status tinggi di pelbagai dimensi, sedangkan menikmati hasil us aha diukur berdasarkan status terendah yang diduduki oleh orang lain.

Harapan bangsa kita akan kehidupan yang lebih baik dalam makna luas belum sepenuhnya terwujud dan memang tidak akan pemah selesai. Harapan itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan yang dihadapi baik secara bersamaan maupun berbeda menurut jenjang kemajuan dan wilayah. Masyarakat modem saat ini memasuki era terbuka dan dengan keterbukaan itu peluang kemajuan makin nyata, mulai dati era ketergantungan kepada hasil alam, industri, informasi dan rekayasa genetik (Toffler, 1989). Masyarakat tertutup akan tergilas oleh percepatan laju perkembangan dan jika mereka menjadi terbuka, maka susunan sosial lama menjadi kurang sebagian atau berfungsi (Rogers dan Shoemaker, 1981). Prilaku keruangan, seperti perpindahan penduduk dari desa ke kota kecil dan dati kota kecil ke kota besar dan dari kota besar ke luar negeri, dan beberapa contoh lain merupakan sebagian pencerminan dinamika masyarakat terbuka (Schumacher, 1983). Kondisi ini memungkinkan mereka menjadi masyarakat progresif sekaligus agresif dan mungkin frustrasi akibat kejutan budaya. Hanya pribadi unggul yang terbebas dari kemelut itu. Sayangnya pribadi unggul itu hanya dimiliki oleh sedikit orang dan memang banyak faktor eksternal (suprasistem) yang tidak mungkin kita kuasai atau kita adaptasi sepenuhnya.

Pribadi-pribadi unggul dapat bertahan, maju, dan bahkan sangat maju hidup di kota-kota. Sebaliknya pribadi yang lemah atau tidak mampu bersaing menjadi kelompok yang digilas oleh arus modernisasi dan globalisasi, menjadi pengganggu, gelandangan dan pengemis, pencuri, pemulung atau bekerja sebagai calo, yang jangankan memberi kelayakan hidup, mempertahankan penderitaan yang ada saat ini pun sulit. Cukup "beruntung" bagi para gelandangan dan pengemis yang terjaring dan diberi bekal keterampilan untuk ditransmigrasikan ke Pulau Sumatera, Kalimantan, Irian dan lain-lain atau menjadi supir mikrolet, bekerja di sektor informal, pembantu rumah tangga, tenaga keIja wanita di Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan lain-lain. Tidak jarang pula, mereka bertahan mengemis atau menjadi pencoleng, calo pasar, dan calo terminal liar. Tidak ada obat yang paling mujarab untuk mencegah penyakit ini, kecuali panggilan nurani mereka sendiri dan perubahan tata nilai kehidupan pribadi.

Masalah sosial atau ekstremnya penyakit sosial (sebab penyakit, apa pun bentuk, jenis dan bobotnya selalu merupakan masalah) disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik (intrinsic factors) dan faktor ekstrinsik (extrinsic factors). Faktor pertama bersumber dari dalam diri individu dan faktor kedua bersumber dari luar individu, yang jika berpadu akan menimbulkan penyakit sosial yang akut dan kronis serta sulit diobati.

Faktor pertama dapat berupa lemah fisik, inteligensi rendah, tidak dewasa, berpandangan sempit dan tidak tahan godaan. Faktor kedua dapat berupa "ajakan" pihak ketiga, stimulus fisik dan nonfisik, tekanan-tekanan dan lain-lain.

2. Menanggulangi Masalah Sosial Di Perkotaan

Isu umum bahwa masyarakat kota bergelimang dengan sumber kemakmuran dan masyarakat desa dibelenggu kemiskinan dan penderitaan, hanyalah lantaran pemikiran kalangan yang tahu setengah-setengah. Isu ini menjadi faktor pemicu berjuta-juta orang pindah meninggalkan desa dan kota-kota kecil menuju kota besar, sehingga menimbulkan pertumbuhan kota yang tidak sehat secara fisik dan sumpek secara psikologis. Makin tinggi pertumbuhan dan pertambahan penduduk sebuah kota menciptakan kondisi yang makin tidak sehat, laksana sebuah kapal sarat penumpang dan karam di tengah perjalanan sebelum sampai ke tujuan.

Berapa ukuran ideal penduduk sebuah kota? Pendapat ekstrem dan tidak mungkin direalisasikan mengenai jumlah ideal penduduk sebuah kota dikemukakan oleh E.F. Schumacher (1983) dalam bukunya yang sangat terkenal "Small is Beautiful". Schumacher berpendapat bahwa batas tertinggi jumlah penduduk sebuah kota adalah 500.000 orang. Di atas angka-angka itu, menurut Schumacher, jelas tidak ada manfaatnya lagi. Penduduk berjuta-juta yang bermukim di kota-kota besar, seperti Tokyo, Mexico City, London, New York, Jakarta, Surabaya, Bandung dan banyaklagi yang lain tidak menambah nilai baik kota-kota itu, melainkan menimbulkan masalah maha besar dan mengakibatkan merosotnya harkat dan martabat manusia, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat kalangan bawah di daerah kurnuh, di kolong jembatan dan kelompok lain yang tidak berbekal keterampilan, berwawasan sempit dan pasrah pada nasib.

Arus perkembangan teknologi modern, kemajuan di bidang transportasi dan komunikasi, diizinkan pedagang asongan, operasi becak, pembangunan dengan pola padat karya, menumpuknya sampah kota, mutu pendidikan di kota yang makin meningkat, kebutuhan pembantu rumah tangga dan banyak dimensi lain merupakan faktor pemicu yang dahsyat. Desa-desa relatif bertahan menurut strukturnya, namun kota satelit bergeser menuju kota metropolis dan kota-kota besar bergeser menjadi megapolis (Schumacher, 1983). Karenanya desa-desa tertentu suatu saat menjadi kota satelit, di kisaran kota satelit yang menjelma menjadi metropolis muncul kota satelit baru dan di kisaran kota metropolis yang menjelma menjadi megapolis muncul kota metropolis baru.

Pergeseran status di atas berdimensi ganda, yaitu positif dan negatif. Positif, karena kondisi ini dapat dijadikan ukuran modernisasi desa, kota atau negara, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta umat manusia pada umumnya. Orang awam yang berpikir rambang dan serampangan menganggap bahwa pendidikan, tempat berniaga, alat angkutan serba cepat, gemerlapnya lampu listrik dan banyak teman baru merupakan ukuran kemajuan. Banyak orang menutup mata atau karena tidak punya praduga, bahwa berangkat ke kota satelit, apalagi metropolis dan megapolis dengan modal seadanya hanya akan menambah beban manajemen pemerintah di kota, menambah bilangan jumlah gubuk liar (slum), dan jumlah penghuni kolong jembatan, emper toko dan terminal serta trotoar di bawah jalan layang. Inilah dimensi negatif dari arus perjalanan penduduk.

Permasalahannya akan semakin rumit, karena pertambahan penduduk berarti pertambahan intensitas dan ekstensitas pelayanan Satu kelurahan berubah menjadi dua kelurahan, satu kecamatan berubah menjadi dua kecamatan, ruang kantor pemerintah, instalasi listrik, SPBU Pertamina, jalan tembus, kantor-kantor yang diperluas memerlukan lahan baru yang makin luas untuk ukuran perkotaan. Tanah-tanah negara, lahan pinggiran sungai atau tempat-tempat lain yang tidak layak huni tetapi dipenuhi oleh gubuk liar "digusur" untuk keperluan pembangunan kantor pemerintah dan usaha bisnis. Repotnya, warga masyarakat telah lekat dengan tempat huninya, tidak sadar akan makna pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa burni, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara. Mereka akhirnya jangankan membantu, malah menghambat proses pembangunan. Tanah negara yang "dikuasainya" telah dirasakan sebagai milik pribadi.

Saat-saat lebaran Idul Fitri, jutaan orang kota mudik ke desa. Orang kaya malah balik membawa keluarga dan pembantu rumah tangga ke kota dan orang-orang yang berpenghasilan pas-pasan hanya menceritakan kebaikan-kebaikan hidup di kota. Tendensi ini ada di mana-mana dan berdampak makin derasnya arus masyarakat desa pindah ke kota. Kebijakan pemerintah, seperti pengembangan Hutan Tanaman Industri Transmigrasi (HTI- Trans), PIR- Trans, program padat karya di pedesaan, latihan keterampilan keliling, pemerataan pembangunan pendidikan, dirasakan sangat membantu, akan tetapi pada analisis akhir, nyata-nyata arus perpindahan penduduk tetap deras dan ini tidak semata-mata urusan manajemen pemerintahan, melainkan menuntut kesadaran diri kita sebagai manusia. Penyuluhan pembangunan secara luas, film pembangunan yang diputar pada layar tancap, siaran pedesaan melalui radio dan sandiwara televisi yang berakar ke desa, suatu saat hendaknya tidak direspons lagi sebagai mobilisasi opini semata-mata. Kita menanti kesadaran masyarakat akan makna hidup layak di tempat yang alamiah, bukan bertahan hidup sumpek di balik hutan beton pel'kotaan, dan di daerah-daerah keramaian dengan lahan pertanian sangat sempit.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat, diferensiasi ukuran kota, karakteristik pertumbuhan industri, pola kebutuhan dan penyediaan tingkat lokal berkorelasi terhadap distribusi penduduk. Distribusi penduduk yang cenderung satu arab, dari wilayah hamlet ke daerah metropolis dan kalaupun ada baiknya, narnun tetap menimbulkan problema, karena tidak semua orang memenuhi persyaratan mutlak untuk hidup, yaitu energi (Toffler, 1989). Energi orang desa yang lebih mengandalkan otot tidak sarna dengan energi kalangan perencana, desainer, pengacara, konsultan dan kaum profesional lain yang banyak mengandalkan energi otak. Transfer dari pemanfaatan energi otot ke energi otak tidak mudah, demikian sebaliknya. Jika terjadi pemaksaan transfer energi akan menimbulkan psychological breakdown atau disfungsi energi, bahkan disfungsi fungsional. Individu yang terbiasa bekerja dengan tombol elektronik yang mensyaratkan energi otak ini sebagai misal, jika terjadi pemutusan hubungan kerja akan mencari pekerjaan lain yang relevan. Orang yang terbiasa dengan kerja otot, hampir tidak mungkin bekerja dengan petalatan canggih yang hanya digerakkan pada tombol instrumen di ruang ber-AC. ltu sebabnya seorang pekerja bangunan cenderung menekuni-pekerjaan itu sampai tenaganya habis. Makin modem instrumen yang dipakai, persyaratan pekerja makin spesifik dan akibatnya transfer tenaga tidak mudah. Energi yang diperlukan oleh masyarakat desa berbeda dengan energi yang diperlukan oleh masyarakat kota, kalaupun tidak keseluruhan,

Arus perpindahan masyarakat desa ke kota yang semata-mata dipicu oleh emosi atau imajinasi bohong menimbulkan banyak benturan akibat perbedaan energi yang diperlukan di sekitar mata pencarian. Pemuda desa meninggalkan lahan pertanian orang tuanya yang subur dan luas, hanya untuk mengejar kerja di pabrik dengar penghasilan pas-pasan. Unjuk rasa menuntut kenaikan upah dipelbagai pabrik, pencurian di toko-toko swalayan oleh para pelayar merupakan pertanda, bahwa hidup di kota jauh dari impian awal yang serba wah. Mana yang kita pilih: hidup di desa dalam suasana aman alamiah atau hidup di kota dengan serba derita kepalsuan? Keganjilan keganjilan ini, meskipun sulit dikuantifikasi, namun kebenarannya telah diterima secara nalar.

2.2. Komunikasi, Pembangunan dan Transformasi Budaya

Dalam tahun 1967 seorang cendekiawan terkemuka Perancis, Jacques Servan-Schreiber, menerbitkan sebuah buku berjudul Le Defi Americain (Tantangan Amerika). Buku itu laris. Di dalamnya Servan-Schreiber melukiskan secara persuasif sekali tentang kemajuan Amerika Serikat yang luar biasa di bidang teknologi tinggi, jauh meninggalkan Perancis. Rupanya karya itu telah ikut menyentakkan masyarakat dan pemuka Perancis, termasuk mereka yang memegang kekuasaan. Semenjak itu terlihat peningkatan berbagai upaya di negara itu untuk mengejar ketinggalan. Dalam suatu rapat tertutup kabinet Perancis tanggal 22 April 1975 diambil keputusan lIntuk membentuk sebuah komisi yang bertugas untuk mempelajari masalah komputerisasi masyarakat. Pada tanggal 20 Desember 1976 Presiden Valery Giscard d'Estaing mengangkat Simon Nora, Inspector General des Finances, menjadi ketua komisi itu. Dalam smat pengangkatan Simon Nora itu Presiden Giscard d'Estaing antara lain mengemukakan :

"Aplikasi komputer sudah berkembang sedemikian rupa sehingga organisasi ekonomi dan sosial masyarakat kita serta gaya hidup kita akan mengalami transformasi akibatnya. Oleh karena itu, masyarakat kita harus berada pada posisi yang mampu menyuburkan perkembangan itu dan sekaligus mengendalikannya sehingga ia dapat berguna bagi kepentingan demokrasi dan pertumbuhan kemanusiaan."

Penemuan utama dari Nora dan Mine itu terkandung dalam konsep telematique (telematies, telematik) yang mereka ciptakan dan perkenalkan. Telematik adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perkawinan antara komputer dan jaringan komunikasi yang mampu mentransmisikan gambar (images), data dan suara. Dengan adanya satelit jangkauan telematik itu dapat dikembangkan ke mana-mana, tentunya sejauh tersedianya jaringan komunikasi yang berkaitan dengan itu seperti pesawat telepon dan televisi. Demikianlah melalui telematik diperkirakan akan terjadi eksploasi atau revolusi informasi. Sejalan dengan itu, telematik sebenarnya menggambarkan suatu revolusi dalam bidang teknologi komunikasi suatu sukses teknologi tinggi dalam bidang komunikasi dan informasi. Bagaika aliran listrik arus informasi akan mengalir dengan mudah dan cepat melalui jaringan telematik. Sebagai salah satu contoh, sekarang sedang dikembangkan eksperimen tentang suratkabar elektronik.

Sukses dalam mencapai teknologi tinggi seperti telematik rupanya membawa implikasi-implikasi yang jauh dalam masyarakat. Hal ini juga dikemukakan oleh Nora dan Mine di dalam buku laporan mereka itu. Pemakaian teknologi baru memungkinkan peningkatan efisiensi dan produktivitas, tetapi pada waktu yang sarna (terutama dalam jangka pendek) tidak dapat mengelakkan terjadinya pengang­guran (unemployment). Pemakaian teknologi baru menuntut keahlian dan keterampilan baru dan itu menyebabkan keahlian dan keterampilan lama menjadi tidak berguna atau tidak relevan lagi. Untuk melahirkan dan mengembangkan keahlian serta keterampilan baru menuntut diadakannya corak pendidikan latihan baru pula. Perubahan tidak saja akan terjadi dalam struktur lapangan kerja tetapi juga dalam sistem pendidikan. Sejalan dengan itu restrukturalisasi akan terjadi di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. "Telematik", kata Nora dan Mine, "tidak hanya akan merupakan sesuatu yang baru, yang meramu gambar, suara dan ingatan (memories) dan mentransformasi pola kebudayaan kita." Oleh karena itu mereka menganjurkan:

"Hanya melalui suatu kebijaksanaan perubahan soSial yang matang yang akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh pemakaian telematik dan pada waktu yang sama memanfaatkan potensi yang terkandung di dalamnya. Kebijaksanaan seperti itu menuntut suatu strategi yang didasarkan pada keseimbangan antara kekuasaan dan penyaing­kekuasaan serta pada kemampuan pemerintah untuk memihak pembangunan, tetapi bukan mengimposisikannya. Telematik dapat mempermudah lahirnya suatu masyarakat bani, tetapi dia tidak akan mampu membangunnya atas inisiatif sendiri."

Dalam tahun 1970 Alvin Toffler menerbitkan sebuah buku berjudul Future Shock. Buku itu laris karena baik judul maupun isinya adalah provokatif, menantang pembacanya berpikir dan berdebat. Pada esensinya buku itu melukiskan suatu skenario tentang bagaimana manusia atau masyarakat modern di dunia barat mengalami kejutan (shock) karena akselerasi perubahan dalam berbagai bidang kehidupan terjadi sedemikian cepat dan dahsyat sebagai akibat dari revolusi teknologi. Revolusi teknologi itu menghasilkan teknologi tinggi yang memungkinkan teIjadinya akselerasi perubahan dalam kehidupan masyarakat secara cepat dan dahsyat. Sepuluh tahun kemudian, 1980, dia menerbitkan sebuah buku laris lagi. yaitu The Third Wave (Gelombang Ketiga). Sebagaimana Future Shock, buku Toffler yang satu ini secara provokatif pula bercerita tentang perubahan-perubahan dahsyat yang sedang bergerak sebagai akibat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai melalui revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mulai atau tengah terjadi. Sungguhpun begitu ada juga perbedaan di antara kedua buku itu. Kalau Future Shock terutama memusatkan dirinya pada proses akselerasi perubahan yang cepat dan dahsyat yang seolah-olah muncul secara tiba-tiba di hadapan manusia modern, The Third Wave berbicara tentang kehadiran peradaban baru yang dibawa oleh proses akselerasi perubahan yang cepat dan dahsyat itu. Menurut dia sejarah peradaban manusia: sejauh ini dapat dibagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama ditandai oleh penemuan pertanian, gelombang kedua ditandai oleh revolusi industri, sedangkan gelombang ketiga yang kini sedang memunculkan diri terutama ditandai oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi-era teknologi tinggi. Berbagai ahli mencoba mengi gambarkan peradaban baru ini dengan berbagai istilah atau konsep seperti era ruang angkasa, era informasi, era elektronik dan entah apalagi. Daniel Bell melukiskannya sebagai era post-industry. Pada saat ini manusia modern sedang beranjak dari gelombang peradaban kedua (revolusi industri) ke dalam gelombang peradaban ketiga yang sedang muncul dan berkembang. Toffler melukiskan kemunculan gelombang ketiga ini antara lain sebagai berikut:

"Suatu peradaban baru sedang muncul dalam kehidupan kita, dan orang buta di mana-mana tengah mencoba untuk mematahkannya. Peradaban baru ini membawa bersamanya gaya keluarga baru; cara bekerja, bercinta dan hidup yang berubah; ekonomi baru; konflik-konflik politik baru; dan di atas itu semua juga perubahan kesadaran (consciousness). Potongan-potongan dari peradaban baru ini sekarang sudah hadir. Berjuta-juta orana sedang menyesuaikan kehidupan mereka dengan irama masa depan itu. Yang lain, dalam ketakutannya menghadapi mas a depan itu terjaring dalami suatu pelarian putus asa dan sia-sia ke masa lampau dan mencoba menyelamatkan dunia yang melahirkannya yang kini sedang menuju akhir hayatnya."

Pertukaran dari satu gelombang peradaban ke gelombang berikutnya berarti transformasi. Masyarakat sekarang ini (tentunya terutama dialamatkan oleh Toffler kepada masyarakat Barat) adalah anak-anak dari transformasi Gelombang Ketiga. Apakah umat manusia akan mampu mentransformasikan dirinya ke dalam Gelombang Peradaban Ketiga yang sedang muncul ini? Toffler menjawab secara optimis, ya. Dia mengemukakan argumentasi bahwa pada setiap kancah kehancuran dan kebobrokan, umat manusia menemui tanda-tanda kelahiran dan kehidupan. Sejalan dengan itu ia melihat bahwa kemunculan peradaban baru ini akan dapat diarahkan untuk menjadi Iebih sehat, masuk akal, bertahan, ramah dan demokratis dari apa yang pernah kita ketahui.

Bahwa negara-negara:maju sekarang tengah berada dalam suatu revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi barangkali sudah buKan rahasia lagi. Perlombaan di antara mereka juga berjalan secara sengit. Amerika Serikat yang selama ini dianggap paling terkemuka dalam bidang komputer, akhir-akhir ini memperlihatkan kekhawatirannya terhadap persaingan gigih dari Jepang. Kekhawatiran ini dapat dibaca dalam berbagai buku dan karangan yang ditulis oleh ahli-ahli Amerika tentang Jepang. Salah satu buku yang terbit dalam tahun 1983 adalah karangan Edward A. Feigenbaum dan Pamela McCorduck yang berjudul, The Fifth Generation: Artificial Intelli­gence and Japan's Computer Challenge to the World. Dalam buku itu dilukiskan bagaimana Jepang dalam sepuluh tahun medatang akan mampu menciptakan dan memasarkan komputer generasi ke­lima, yaitu semacam articifially intelligent machines that can reason, draw conclusions, make judgements, and even understand the written and spoken word." Mesin intelligent komputer ini akan dapat bercakap-cakap dengan manusia dan mengerti ucapan dan gambar.

Dulu Francis Bacon pernah berkata bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan." Kini ucapan itu tampak semakin diyakini oleh negara-negara maju yang sedang berlomba dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bahwa revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi kini sedang berada di tengah-tengah masyarakat maju dapat dilihat dari perde­batan yang tajam dan hidup di kalangan para ahli dan intelektual mereka. Berbagai buku dan artikel telah dilahirkan guna membahas arah perkembangannya dan implikasi-implikasinya dalam berbagai aspekkehidupan masyarakat. Ada yang optimis, ada pula yang pesimis. Yang optimis melihat berbagai keajaiban yang akan dibawa oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi ini seperti penyebar luasan informasi, waktu kerja yang lebih sedikit, partisipasi dan demokratisasi yang lebih meluas. Peningkatan efisiensi dan produkti­vitas akan memungkinkan umat manusia mempunyai waktu ter­luang yang Iebih banyak untuk bersantai dan berleha-leha, menikmati kehidupan dunia ini seeara lebih sempurna. Mereka yang pesimis menekankan bagaimana akan terjadinya pengangguran yang me­ningkat, pergaulan sosial yang lebih ketat, vulgarisasi kehidupan dan entah apalagi.

Kalau negara-negara maju sekarang asyik menggerakkan masyarakatnya untuk menjadi melek-komputer, negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia masih saja belum selesai memerangi buta-huruf, Kalau negara-negara maju kini sudah melangkahkan sebelah kakinya ke gelombang peradaban ketiga (post-industry), kita berada di mana? Yang jelas kita belum sepenuhnya berada dalam Gelombang Kedua (Revolusi Industri),walaupun pada waktu yang sama kita juga sudah kena percikan-percikan Gelombang Ketiga. Dalam pidato yang disampaikannya di Bonn, Jerman Barat, tanggal 14 Juni 1983, B.J. Habibie, mengemukakan pemikirannya tentang strategi transformasi industri suatu negara sedang berkembang, yaitu Indonesia. Di dalam pidato itu dia mengemukakan delapan wahana transformasi industri tersebut, yaitu (1) penerbangan, (2) maritim dan perkapalan, (3) transportasi darat, (4) elektronika dan komunikasi, (5) energi, (6) perekayasaan (engineering), (7) alat dan mesin pertanian dan (8) pertahanan. Di samping itu dia menambahkan satu wahana lagi wahana ke-9 yaitu segala macam industri jasa yang tidak terlihat. Orang dapat saja memperdebatkan pemikiran Profesor Habibie ini, tetapi paling kurang dia sudah memberanikan diri untuk mengemukakan sesuatu yang dianggapnya relevan bagi proses transformasi masyarakatnya. Arahnya jelas, yaitu industrialisasi implikasi-implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat tentu masih perlu dikaji dan ditelaah oleh berbagai ahli. Yang jelas bagi kita ialah bahwa transformasi industri (teknologi) seperti itu akan menuntut transformasi diri masyarakat sehingga mereka dapat menempatkan diri secara pas di dalamnya. Transformasi diri seperti itu dapat pula disebut transformasi budaya, karena ia menyangkut perubahan nilai yang selanjutnya melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku.

Berbicara tentang transformasi budaya dalam masyarakat sedang berkembang seperti Indonesia adalah rumit. Pertama, perma­salahannya kompleks. Kedua, karena kompleks mudah mengundang berbagai corak pengertian atau persepsi yang selanjutnya dapat pula melahirkan dan mengembangkan saling salah pengertian. Kalau sampai begitu, soalnya lalu menjadi sensitif dan pembicaraan dapat menjurus menjadi emosional.

Transformasi budaya masyarakat Indonesia yang sedang membangun ini mengandung dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi pertama menyangkut soal bagaimana meng-indonesiakan orang-orang Indonesia yang majemuk ini dalam kehidupan negara berbangsa dan bermasyarakat. Itu menyangkut soal penghayatan dan masing­masing sebagai satu bangsa. Ke-indonesiaannya melampaui atau berada di atas rasa keterikatan primordial golongan yang berbagal corak itu. Untuk masing-masing orang perlu mentransformasikan dirinya sedemikian rupa sehingga betul-betul menghayati dan mengamalkan nilai-nilai bersama yang telah disepakati yang terkandung di dalam falsafah dan ideologi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, yaitu Pancasila dan UUD'45. Dengan begitu masing~masing orang akan melahirkan dan mengembangkan sikap serta tingkah-laku sehari-hari yang memantulkan nilai-nilai yang terkandung dl dalam falsafah dan ideologi bersama itu. Dengan lain perkataan mem­budayakan falsafah dan ideologi bersama di dalam. diri masing-masing. Falsafah dan ideologi bersama itu dapat pula dlsebut sebagal paradigma Indonesia. Jadi dimensi pertama ini dapat kita katakan sebagai dimensi ideologi atau dimensi paradigma Indonesia. Transformasi budaya ke arah itu sekarang sedang kita giatkan antara lain melalui pendidikan dan juga melalui penataran-penataran P-4.

Dimensi kedua dari transformasi budaya menyangkut soal-soal praktis yang berkaitan dengan pembangunan orang-orang Indonesia di dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagaimana menjadikan mereka ahli dan terampil sehingga dapat menempatkan diri secara pas dalam proses pembangunan yang sedang berjalan sekarang ini. Nilai­nilai apakah yang diperlukan agar supaya mereka terdorong untuk menjadikan diri mereka fit sehingga mampu berpartisipasi secara aktif dan bermanfaat. Kalau proses pembangunan kita akan menuJu ke arah industrialisasi, kita perlu mentransformasikan nilai-nilai, yaitu mengganti yang tidak relevan dengan yang relevan. Umpamanya, industrialisasi menuntut orang untuk lebih menghargai waktu, lebih berdisiplin dalam kerja, lebih terspesialisasi, dan lebih terikat pada aturan-aturan. Kalau tidak begitu, mustahil proses industrialisasi akan dapat berjalan dengan sukses.

Bagi negara-negara maju dimensi pertama dari transformasi budaya dapat dikatakan relatif telah rampung. Ideologi dan falsafah hidup bersama relatif sudah mantap dan secara mantap pula ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sejalan dengan itu rasa saling curiga dan saling bermusuhan yang bersifat ideologis relatif sudah tidak ada, atau sudah dapat mereka atasi dengan baik. Oleh karena Jtu, karena sudah merasa mantap dengan ideologi dan falsafah hidup bersama, waktu, energi dan perhatian mereka lebih banyak dipusatkan untuk menanggulangi soal-soal yang praktis yang berkait­an dengan pembangunan berbagai aspek dari kehidupan masyarakat mereka. Karena merasa sudah kokoh berdiri di atas paradigm a sen­diri, mereka tampak lebih leluasa mengembangkan pemikiran dan kreativitas mereka. Karena ideologi dan falsafah hidup bersama. mereka sudah membudaya di dalam diri mereka, mereka dapat melepaskan diri dari apa yang disebut sebagian ahli sebagai kekakuan­kekakuan ideologi (rigidities of ideology) dalam mengembangkan pemikiran dan kreativitas. Mereka mampu berpikir beyond ideology, justru karena mereka sudah merasa man tap dengan ideologi yang mereka miliki. Bukannya tidak mungkin bahwa keberhasilan mereka mengembangkan pemikirah dan kreativitas; seperti terlihat dalam kemajuan-kemajuan yang mereka capai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka anggap sebagai bukti nyata dari keampuhan ideo­logi dan falsafah hidup bersama mereka yang telahmampu mengem­bangkan diri mereka sejauh itu. Sukses-sukses yang mereka capai jus­tru memperkuat keyakinan mereka terhadap ideologi dan falsafah hidup bersama mereka. Barangkali dapat pula dikatakan bahwa kema­juan-kemajuan yang mereka capai mereka anggap sebagai keberhasil­an mereka dalam mengamalkan ideologi dan falsafah bersama mereka. Dari uraian ini dapat pula diambil kesimpulan ten tang be­tapa eratnya suasana saling berkaitan antara dimensi ideologis dan dimensi praktis dalam proses transformasi budaya sesuatu bangsa.

Memang kalau dibandingkan dengan masyarakat di negara­negara maju, bangsa kita menghadapi beban yang jauh lebih berat dalam proses mentransformasikan dirinya - transformasi budaya. Baik dimensi ideologi dan dimensi praktis perIu diperhatikan secara wajar dan berimbang. Secara ideologis bangsa kita masih dalam proses memantapkan dirinya ke dalam paradigma Indonesia. Secara praktis bangsa kita perIu mengembangkan nilai-nilai yang relevan dengan tuntutan pembangunan di berbagai aspek kehidupannya agar dapat menempatkan diri secara pas di dalamnya.

Kalau dari uraian di atas dapat diperoleh kesan bahwa apa yang kita maksudkan dengan pembangunan di sini adalah sama saja dengan transformasi budaya, maka itu adalah benar adanya. Tetapi transformasi budaya yang dimaksudkan mengandung dua dimensi yang saling berkaitan, yaitu dimensi ideologi dan dimensi praktis. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sedang membangun sekarang ini kita menganggap bahwa kedua dimensi itu perlu sama-sama diperhatikan secara wajar dan berimbang. Kalau sampai terjadi perhatian yang sangat berlebihan sehingga menjadi obsesi terhadap salah satu dimensi, maka itudiperkirakan akan membawa akibat tidak sehat terhadap proses transformasi budaya masyarakat kita. Obsesi terhadap ideologi dapat menyebabkan kita melalaikan dimensi praktis dalam pembangunan masyarakat, dan sebaliknya. Dari sini barangkali dapat dilihat peranan apa yang bisa dimainkan oleh komunikasi, dalam hal ini terutama media massa, baik cetak maupun elektronik, dalam pembangunan dan transformasi budaya masyarakat kita.

Menurut salah satu penerbitan Biro Pusat Statistik (BPS), Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1980-1981 (terbit 1982), dalam tahun 1971 jumlah orang yang duduk di bangku sekolah adalah 13,9% dari seluruh penduduk Indonesia. Dalam tahun 1980 jumlah itu meningkat menjadi 18,2%. Itu berarti secara kuantitatif kita mengalami kemajuan yang besar dalam bidang pendidikan. Kemampuan membaca meluas dengan cepat, dan sejalan dengan itu kebutuhan akan bahan bacaan buku-buku, suratkabar, majalah dan sebagainya- lekas pula meningkat. Kemajuan teknologi dalam percetakan yang berhasil memungkinkan peningkatan pergandaan dalam jumlah yang besar. Di Jakarta sudah beberapa tahun ada koran-koran yang oplagnyadi atas 100,000 atau 200,000. Di beberapa kota besar lainnya ditemui pula koran-koran yang beroplag puluhan ribu. Kini kita juga menemui beberapa majalah yang ber­oplag besar-besar. Bahkan ada majalah-majalah khusus untuk wanita yang laris dan mempunyai jangkauan distribusi yang luas. Buku­buku yang relatif lebih laku sekarang kalau dibanding dengan beberapa tahun sebelumnya. Banyak judul-judul baru yang diterbitkan, termasuk yang terjemahan dari bahasa-bahasa asing.

Semenjak kita memiliki satelit Palapa di tahun 1976 penyebarluasan siaran televisi terjadi secara dramatis. Kalau dalam tahun 1969 baru ada sekitar 65.000 pesawat televisi yang terdaftar, dalam tal1Un 1982 dicatat sebanyak 2.577.523. Itu belum dihitung yang tidak terdaftar. Dalam tahun 1979 (September-Oktober) In Search Data melakukan survei tentang pemakaian media di daerah perkota­an Indonesia. Survei itudilakukan di sepuluh kota, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Malang, Medan, Palembang dan Ujung Pandang. Hasilnya antara lain telah diolah oleh John A. MacDougall dalam laporan yang betjudul Mass Media Usage in Urban Indonesia (USICA, Oktober 1980). Dari situ kita antara lain mengetahui bahwa 50% dari rumahtangga di daerah perkotaan dalam tahun 1979 telah memiliki pesawat televisi, 70% memiliki pesawat radio, dan 65% dari orang kota (umur 15 tahun ke atas) membaca suratkabar. Dari hasil survei yang dilakukan oleh LEKNAS-LIPI (bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Penerangan dan East-West Center Honolulu) dalam tahun 1982 di daerah pedesaan di lima propinsi, yaitu Aceh, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, diketahui bahwa sekitar 28% dari rumahtangga di daerah pedesaan itu telah memiliki pesawat televisi. Dari kedua hasH survei itu jelas terlihat bahwa peranan televisi dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi semakin penting, baik di kota maupun di desa.

Dari hasil survei In Search Data yang diolah oleh MacDougall itu diketahui pula bahwa televisi telah, melonjak secara dramatis di daerah perkotaan sehingga mengalahkan radio sebagai medium utama yang menjangkau masyarakat banyak. Walaupun hanya 50% rumahtangga yang memilikinya, sepertiga lagi dari penduduk ikut menonton televisi melalui pesawat tetangga atau teman. Diketahui pula bahwa suratkabar telah berhasil pula meningkatkan jumlah pem­bacanya secara luar biasa, sehingga berbeda sedikit saja lagi dengan jumlah pendengar radio. Yang amat menarik perhatian ialah bahwa terjadi perpaduan antara ketiga corak media, dalam arti bahwa mereka yang membaca koran pada umumnya adalah pula penonton televisi dan pendengar radio. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemakaian banyak media oleh seseorang (multiple media usage) sudah merupakan suatu kebiasaan.

Ada heberapa hal yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas. Pertama, sulitlah kiranya untuk membantah kenyataan bahwa dalam beberapa tahun ini telah tetjadi perkembangan yang luar biasa dalam komunikasi, terutama media-massa, baik cetak maupun elektronik. Teknologi tinggi jelas memainkan peranan penting dalam perkembangan yang dramatis itu. Teknologi percetakan, satelit dan elektronik adalah contoh-contoh yang dapat dilihat. Kedua, penetrasi yang cepat dari medium tertentu sebagai hasil pemakaian teknologi tinggi, seperti televisi, tidak melenyapkan media lain yang sudah ada terle­bih dahulu, seperti suratkabar dan majalah. Betul juga yang dikatakan oleh Anthony Smith dalam bukunya disebut di atas bahwa teknologi baru pada hakikatnya adalah pengembangan dari teknologi lama. Oleh karena itu, revolusi teknologi komunikasi yang terjadi sekarang ini lebih bersifat kumulatif, bukan sebagai pengganti total atau menyeluruh.

Ketiga, kenyataan bahwa semakin banyak jumlah masyarakat kita yang menjadi konsumen berbagai media sekaligus menunjukkan adanya peningkatan yang berarti dalam daya beli mereka. Peningkatan daya beli itu jelas menunjukkan keberhasilan pembangunan kita. Keempat, oleh karena semakin banyak masyarakat kita yang menjadi konsumen berbagai media itu juga berarti bahwa sebagian penting dari waktu mereka dipergunakan untuk komunikasi atau mencari informasi. Masyarakat kita menjadi semakin berorientasi kepada komunikasi dan informasi. Komunikasi atau informasi sema­kin menjadi suatu kebutuhan penting dalam kehidupannya. Proses menuju "masyarakat informasi" kiranya kini sedang terjadi di tengah-tengah kita.

2.3. Realita Kehidupan Sosial dalam Film Indonesia

Berbicara tentang realita kehidupan sosial dalam film Indonesia adalah sulit dan rumit karena ia mengandung berbagai macam permasalahan yang mudah mengundang perdebatan hangat. Perdebatan hangat itu mungkin saja dapat mengasyikkan, tetapi mungkin pula bisa berkepanjangan, emosional dan serampangan. Sesuatu perbedaan atau diskusi memang tidak diharapkan untuk menghasilkan kata putus atau rumusan akhir yang disepakati bersama tentang suatu permasalahan, tetapi paling kurang ia diharapkan untuk dapat memberikan secercah pengertian yang lebih jelas tentang seluk­beluk perkara yang diperdebatkan itu. Kalaulah bukan untuk semua yang ikut serta dalam perdebatan atau diskusi itu, paling kurang buat sebagian penting dari mereka.

Realita kehidupan sosial adalah ungkapan yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk menjelaskan secara memuaskan bagi semua orang. Salah satu kesulitan muncul bilamana dipertanyakan tentang realita kehidupan sosial yang mana. Apakah realita kehidupan sosial di pedesaan ataukah di daerah urban atau kota? Apakah realita kehidupan sosial golongan miskin ataukah orang kaya? Apakah realita kehidupan sosial di dunia kampus ataukah di kalangan pedagang kaki lima? Begitulah seterusnya orang akan selalu dapat mempetdebatkan sesuatu rumusan yang bersifat umum apa pun tentang realita kehidupan sosial ini. Sungguhpun begitu, dari pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan di atas ada satu hal yang kita semua dapat menyepakatI bersama, yaitu bahwa realita kehidupan sosial itu mengandung berbagai variasi, memiliki banyak corak dan ragamnya.

Meskipun realita kehidupan sosial rnengandung berbagai variasi atau keanekaragaman, tentunya kita juga dapat rnelihat dimensi­dimensi apa saja yang menonjol di dalamnya. Misalnya kita mengetahui bahwa sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih hidup sebagai petani di pedesaan. Kita mengetahui pula bahwa berbagai ragam perubahan sudah, sedang dan akan terjadi sebagai akibat dari proses pembangunan yang cepat. Perubahan-perubahan itu ada yang dianggap positif dan ada pula yang dianggap negatif. Perkembangan pendidikan, umpamanya, diperkirakan mempunyai akibat positif terhadap peningkatan pengetahuan dan kecerdasan masyarakat. Adanya, gejala-gejala yang memperlihatkan kecenderungan ke arah gaya, hidup yang hedonistis (suka bersenang-senang, bermewah­mewah dan berfoya-foya) di kalangan tertentu di dalam masyarakat barangkali dapat dianggap sebagai akibat negatif dari proses pembangunan.

Persepsi kita masing-masing tentang dimensi-dimensi apa saja yang menonjol dari kecenderungan-kecenderungan perubahan dalam reah:a kehidupan sosial belurn tentu pula sama. Bahkan bukannya tidak, mungkin ada persepsi-persepsi yang jauh berbeda atau bahkan saling bertentangan. Walaupun begitu, kalau diupayakan secara sungguh-sungguh barangkali kita akan dapat menemukan persepsi-persepsi yang secara umum mempunyai titik-titik temu bilamana persepsi-persepsi seperti ini mewakili sebagian besar dari anggota masyarakat, maka ia dapat kita kategorikan sebagai persepsi yang relatif berlaku umum sekaligus membedakannya dengan persepsi-persepsi lain yang dimiliki oleh orang-orang atau kelompok­kelompok tertentu yang relatif tidak banyak jumlahnya.

Di dalam masyarakat terdapat apa yang disebut elit-elit strategis di dalam berbagai bidang kehidupan, agama, adat, pendidikan, pertahanan/keamanan, soslal-ekonomi, politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, media-massa, pemerintahan, dan entah apa­lagi. Ellt-ellit strategis mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, terutama di kalangan di mana mereka dianggap sebagai tokoh atau pemimpin. Sejalan dengan itu persepsi-persepsi para elit strategis ini barangkali dapat dikatakan berpengaruh pula terhadap persepsi-persepsi yang hidup dan berkembang di kalangan di mana mereka masing-masing dianggap sebagai tokoh atau pemimpin. Kalau kita berhasil mengetahui siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai elit-elit strategis di dalam masyarakat maka melalui itu kita akan dapat meneliti persepsi-persepsi mereka tentang realita kehidupan sosial. Melalui persepsi-persepsi mereka itu paling kurang kita akan memperoleh suatu gambaran umum tentang persepsi-persepsi realita kehidupan sosial yang relatif berlaku umum di dalam masyarakat. Kalau kita ingin mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam lagi mengenai persepsi masyarakat tentang realita kehidupan sosial hal itu dapat pula kita lakukan melalui penelitian yang cermat terhadap masyarakat itu sendiri.

Memang berbagai corak penelitian tentang realita kehidupan sosial masyarakat kita yang majemuk itu sudah dilakukan oleh para ahli dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, baik ahli bangsa kita sendiri maupun ahli asing. Soalnya ialah apakah kita yang merasa berkepentingan telah membaca laporan-Iaporan hasil penelitian itu dengan teliti dan cermat sehingga kita berhasil merangkumnya ke dalam kesimpulan-kesimpulan yang bermakna buat keperluan kita. Kalau kita sudah membaca dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh apakah masih ada hal-hal yang kita anggap belum terungkap, atau kalau sudah terungkap tetapi belum terkupas secara memuaskan dan mendalam. Bilamana kita mengetahui kelemahan-kelemahan seperti itu, hal demikian memberi petunjuk kepada kita tentang dimensi-dimensi apa saja yang masih perlu kita teliti lebih Ianjut dari realita kehidupan sosial masyarakat kita.

Jadi, meskipun kita sama-sama menyadari bahwa diskusi kita tentang realita kehidupan sosial bukanlah berdasarkan pengetahuan yang lengkap dan sempurna, kita tidaklah sama sekali berbicara tanpa apa-apa. Paling kurang masing-masing kita mempunyai sekelumit pengetahuan, ada yang keluniitnya kecil ada yang kelumitIiya lebih besar, tentang realita kehidupan so sial. Oleh karena pengeta­huan kita masih sekelumit. itu menuntut kita untuk berbicara lebih hati-hati tentang persoalan yang pelik dan rumit ini.

Sekarang tentang film Indonesia. Pertanyaan pokok tentunya adalah : Bagaimanakah film-film Indonesia, secara umum dalam bebeberapa tahun ini, mencerminkan realita kehidupan sosial masyarakat kita? Apakah peneenninan itu seeara umum dapat dikatakan s~suai dengan ~ersepsi-persepsi yang relatif berlaku umum, dapat dIkatakan sesual dengan persepsi-persepsi yang relatif berlaku umum ataukah belum? Kalau belum sesuai, di manakah terletak duduk persoalannya? Kalau sudah sesuai tentu tidak perlu kita persoalkan lagi.

Dari ulasan-ulasan yang kita temui di dalam berbagai surat­kabar dan majalah kita mengetahui sejumlah pandangan atau kritik yang dilontarkan ke alamat film Indonesia. Salah satu pandangan atau kritik yang sering kita temui ialah tentang kegagalan sebagian besar film-film Indonesia meneerminkan realita kehidupan sosial masyarakat kita yang sesungguhnya. Banyak film Indonesia dianggap menyajikan realita kehidupan sosial secara kurang/tidak tepat karena film-film itu cenderung menonjolkan suasana:

a. kehidupan kota/metropolitan

b. kemewahan, foya-foya

c. kekerasan, kekejaman (violence)

d. rangsangan seks/pergaulan bebas

e. selera budaya asing

Dari sejumlah 2,248 responden (umur 15 tahun ke atas) diketahui bahwa sebanyak 41,5% dari orang desa di lima propinsi menyatakan pernah menonton film, walaupun hanya l3,2% yang pernah menonton dalam jarak waktu tiga bulan terakhIr. Dan mereka yang pernah menonton film ini, 45,7% menyatakan menyenagi film Indonesia, 13,9% film Mandarin, 6,4% film IndIa, 6,1 % film Amerika 27,9% film apa saja. Tetapi, di kalangan mereka yang menganut Kong Hu Cu (keturunan Cina di Kalimantan Barat) diketahui bahwa 73% (tertinggi) menyenangi film Mandarin, sedangkan di kalangan yang beragama Islam (Aceh dan Sulawesi Selatan), Kristen (Sulawesi Utara) dan Hindu (Bali) film Indonesialah yang paling disenangi, yaitu antara 50-53%.

Jenis film yang disenangi oleh para penonton di daerah-daerah pedesaan itu ialah : roman (27,6%), pendidikan (17,3%) perang (16,0%), sejarah (14,1%), kungfu (9,9%), detektif (8,3%) dan komedi musik (6,2%).

Film Indonesia populer di semua tingkat golongan ekonomi. Di samping itu, film Mandarin cukup populer di golongan ekonomi atas dan menengah atas. Yang menarik ialah bahwa film bertema pendidikan populer di kalangan golongan ekonomi bawah dan menengah bawah. Sebaliknya film cerita roman lebih populer di kalangan golongan ekonomi atas menengah atas. Perlu pula kiranya diketahui bahwa semakin tinggi tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan seseorang di pedesaan semakin sering pula ia menonton. Sebanyak 22% dari mereka yang berpendidikan SLTP dan 25% SLTA ke atas menyatakan pernah menonton film dalam tiga bulan terakhir. Angka-angka itu jauh lebih tinggi dari angka rata-rata yang hanya sekitar 13%. Penganggur dan petani adalah kelompok-kelom­pok yang paling jarang menonton. Pegawai, anggota ABRI dan pedagang adalah kelompok-kelompok yang lebih sering menonton.

Film Indonesia merupakan favorit dari mereka yang berpendidikan SLTP (51%), tetapi pada kelompok-kelompok pendidikan lain ia tetap merupakan yang paling populer dengan angka antara 40 sampai 49%. Yang menarik ialah bahwa film Mandarin disenangi oleh 27% dari mereka yang tak mempunyai latar belakang pendidikan dan l5% dari yang bependidikan SD. Sebagaimana diketahui film Mandarin ini adalah sangat populer di kalangan keturunan Cina di pedesaan Kalimantan Barat. Ini memberi petunjuk kepada kita bahwa tingkat pendidikan mereka rupanya masih relatif rendah.

Angka tertinggi yang diperoleh film Amerika adalah di kalangan yang berpendidikan SLTA ke atas (18%) dan di kalangan yang ber­agama Kristen (1 no. Angka tertinggi yang diperoleh film India. ialah di kalangan yang beragama Islam (12%). Sebagaimana telah dikemukakan di atas angka tertinggi untuk film Mandarin adalah di kalangan keturunan Cina penganut Kong Hu Cu (73%).

Secara keseluruhan, kecuali di kalangan keturunan Cina penganut Kong Hu Cu, film Indonesia merupakan favorit utama dari para penonton di pedesaan.

Dalam tahun 1980, Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada menerbitkan laporan penelitian yang ditu­lis Sutaryo dkk. yang berjudul Sikap dan Harapan Masyarakat Kota­madya Yogyakarta Terhadap Film Nasional. Penelitian ini bersifat khusus tentang film Indonesia dan oleh karena itu hasilnya juga lebih mendalam. Di bawah ini akan kita ambil beberapa segi penting dari laporan hasil penelitian itu.

Ada sejumlah 234 responden yang diminta pendapatnya dan mereka itu dibagi ke dalam empat kategori, yaitu (1) Pelajar/Mahasiswa, (2) Pedagang/Pengusaha, (3) Pegawai/Anggota ABRI dan (4) Buruh. Salah satu hal yang rupanya lupa ditanyakan kepada responden ialah preferensi mereka terhadap film-film asing. Oleh karena itu kita tidak mengetahui posisi film Indonesia kalau dlbandingkan dengan film-film asing itu. Sungguhpun begitu, laporan hasil penelitian ini cukup kaya dengan keterangan-keterangan yang dapat membantu kita untuk memahami berbagai persepsi para penonton masyarakat kota seperti Yogyakarta ini.

Jumlah film Indonesia yangberedar di Kotamadya Yogyakarta dalam tahun 1977 adalah 47 buah, yang kemudian meningkat menjadi 63 buah di tahun 1978 dan 102 di tahun 1979. Dari 212 fIlm Indonesia yang beredar se1ama tiga tahun itu terbagl ke dalam kategori-kategori berikut :

a. cerita/drama roman = 119 buah (56%)

b. cerita/drama ke1uarga = 16 buah (8%)

c. action = 22 buah (10%)

d. komedi = 31 buah (15%)

e. cerita/drama musik = 15 buah (7%)

f. horor = 9 buah (4%)

Dari angka-angka ini jelas terlihat bahwa jumlah film Indonesia yang diputar memperlihatkan peningkatan yang besar dari tahun ke tahun. Itu berarti bahwa film IndonesIa semakin kokoh posisinya. Pada waktu yang sarna kita lihat pula bahwa jenis film cerita/drama roman (56%) mempunyai peranan dominan dibandingkan dengan lima jenis film lainnya.

Sebanyak 14% dari semua responden menonton fIlm Indonesia lebih dari sekali sebulan, 28% sekali sebulan, 20% sekah dua bulan, 38% sekali tiga bulan ke atas. Mahasiswa/pelajar dan pedagang/ pengurus relatif lebih sering menonton film Indonesia dibanding dengan pegawai/anggota ABRI dan buruh, meskipun perbedaannya tidak begitu menyolok.

Tentang motivasi untuk menonton diketahui bahwa mayoritas (66%) buat hiburan, 12% (mengikuti perkembangan film nasional), 10% (menambah pengetahuan), 8% (mengisi waktu luang) dan 4% (lain-lain). Motif hiburan sangat menonjol di kalangan buruh (74%) dan pedagang/pengusaha (74%), dibandingkan dengan pegawai/anggota ABRI (66%) dan pelajar/mahasiswa (57%). Angka tertinggi untuk mengikuti perkembangan film nasional terdapat di kalangan pegawai/anggota ABRI (17%), untuk menambah pengetahuan di kalangan pelajar/mahasiswa (20%), untuk mengisi waktu luang juaB dikalangan pelajar/mahasiswa (12%).

Sebanyak 33% dari responden menyatakan menyenangi film; cerita/drama roman, kemudian disusul oleh drama keluarga (30%), komedi (24%), action (7%), drama. musik (5%) dan horor (1 %).Angka tertinggi untuk drama roman terdapat di kalangan pelajar/mahasiswa (39%) dan buruh (37%). Untuk drama keluarga di ka• langan pegawai/anggota ABRI (43%), komedi di kalangan buruh (30%) dan pedagang/pengusaha (27%).

Cerita/drama roman juga unggul sebagai tema film yang paling berkesan bagi penonton (38%), disusul oleh drama keluarga (34%), komedi (19%) dan action (12%). Pelajar/mahasiswa memberikan, angka tertinggi kepada tema cerita/drama roman (48%). Angka tertinggi untuk tema drama keluarga (35%) diberikan olehpegawai/ anggota ABRI, untuk komedi (22%) oleh pedagang/pengusaha, dan action (18,5%) oleh buruh.

Ada berbagai alasan yang diberikan oleh para penonton mengapa tema-tema film tertentu berkesan kepada mereka. Untuk tema cerita/drama roman alasan yang menonjol adalah keharmonisan film (26%), nostalgia (26%) dan gambaran percintaan (20%), untuk tema drama keluarga adalah dinamika dan romantika kehi­dilpan keluarga (30%) dan unsur pendidikan (24%). Untuk tema komedi adalah hiburan/humor (55%) dan kritik sosial (26%).

Dari kedua hasil penelitian disebut di atas jelaslah bagi kita bahwa film Indonesia mempunyai posisi yang cukup kokoh di kalangan masyarakat kita, baik di desa maupun di kota. Selera penonton film di desa dan di kota relatif sama, di mana jenis cerita/drama roman merupakan favorit utama. Sejalan dengan itu motif utama yang mendorong mereka untuk menonton film adalah buat menghibur diri.

Kini kita kembali ke soal pencerminan realita kehidupan sosial di dalam film Indonesia. Pandangan atau kritik yang sering kita temui dalam berbagai suratkabar dan majalah yang telah kita kemukakan di atas rupanya didukung pula oleh para penonton. Dari hasil penelitian Sutaryo dkk. tentang sikap dan harapan para penonton di kotamadya Yogyakarta terhadap film nasional disebut di atas kita mengetahui hal-hal berikut.

Gambaran tentang realita kehidupan sosial dalam film Indonesia antara lain dapat diketahui dari evaluasi para penon ton kota­madya Yogyakarta tentang adegan-adegan yang sering muncul dan adegan-adegan yang kurang muncul. Tentang adegan-adegan yang sering muncul angka-angka tinggi mereka berikan kepada yang berikut ini:

a. adegan seks = 64%

b. adegan mewah = 19%

c. adegan cengeng = 10%

Adegan-adegan yang kurang sering dimunculkan oleh film-film Indonesia menurut mereka adalah (angka-angka yang tinggi):

a. adegan unsur pendidikan = 29%

b. adegan kemiskinan dan pedesaan = 20%

c. adegan tegang = 18%

d. keharmonisan film = 13%

Sewaktu kepada mereka diminta pendapat tentang statemen yang berbunyi : "Film nasional yang bertemakan drama banyak menonjolkan adegan-adegan seks dan kemewahan," 89% dari responden membenarkan statemen itu. Sebanyak 96% dari penonton berkategori pegawai/anggota ABRI membenarkannya, disusul oleh peda­gang/pengusaha (92%), pelajar/mahasiswa (90%), dan buruh (70%). Sebanyak 46% dari responden (tertinggi 58% pada kelompok pedagang/pengusaha) beranggapan bahwa penonjolan kemewahan dalam film drama mendorong orang untuk meniru.

Sewaktu kepada para responden ditanyakan apakah film nasional yang bertema horor terlalu berlebih-lebihan dan kurang realitas sebanyak 30% dari mereka membenarkan, 63% tidak mengemukakan pendapat, dan hanya 7% yang menyatakan tidak setuju dengan pandangan seperti itu. Cukup banyak pula (42%) yang menyatakan bahwa film komedi kita masih kurang lucu.

Cukup besar dari responden (31 %) menyetujui pandangan bahwa perilaku kekerasan dan kenakalan remaja banyak diilhami oleh film Indonesia yang bertema action. Cukup banyak pula (32%) yang mengemukakan bahwa film bertema drama musik mengandung adegan-adegan yang kurang serasi antara nyanyi dan jalan ceritanya.

Pada umumnya (70%) berpendapat bahwa film-film Indonesia masih kalah mutunya dari film-film Barat. Hasil penelitian Sutaryo dkk. ini juga menanyakan harapan­harapan penonton di kotamadya Yogyakarta terhadap film nasional kita. Sebanyak 41 % ,dari responden mengharapkan agar film nasional bertema cerita/drama roman mengurangi adegan ranjang atau seks. Sebanyak 23% agar mengurangi adegan yang tidak realistis dan 19% agar mengurangi adegan bersuasana kemewahan.

Terhadap film bertema drama keluarga, sebanyak 33% menginginkan agar mengurangi adegan seks, 29% agar mengurangi adegan berlebih-lebihan, dan 26% agar mengurangi adegan yang tak realistis. Tentang film komedi, 65% menghendaki agar mutu humornya ditingkatkan. Tentang film horor, 44% mengharapkan agar jangan terlalu dibuat-buat dan 27% menginginkan agar jangan terlalu kaku. Yang menarik tentang film bertema action ialah bahwa 67% dari responden menginginkan agar dimasukkan ke daiamnya unsur pen­didikan serta mengurangi adegan kekerasan/pembunuhan (14%) dan adegan sadis (II %). Harapan terhadap film drama musik ialah agar berupaya mencocokkan antara cerita dan musiknya (34%) dan men­jaga keseimbangan porsi di an tara kedua unsur tersebut (33%).

Secara eksplisit hasil penelitian tentang sikap dan harapan para penonton kotamadya Yogyakarta memang tidak memberikan' keterangan kepada kita mengenai pandangan para responden terhadap kandungan selera budaya asing dalam film-film nasional kita. Hal itu barangkali dapat kita raba, meskipun tidak pasti, dari pandangan mereka bahwa film-film Indonesia dalam beberapa tahun ini banyak mengandung adegan-adegan yang merangsang seks (adegan ranjang), kemewahan, kekejaman/kekerasan dan suasana kehidupan kota/metropolitan. Dari itu semua dapatlah kita simpulkan adanya titik pertemuan yang jelas dan kuat antara pandangan atau kritik yang kita baca di dalam berbagai suratkabar dan majalah dengan pendapat para penonton di kotamadya Yogyakarta tentang film­film Indonesia.

Sebagai seorang penonton film Indonesia yang tidak begitu sering saya cenderung untuk mendukung pendapat, pandangan atau kritik di atas. Itu tidak berarti bahwa tidak ada film Indonesia yang pernah saya ton ton yang berhasil mencerminkan realita kehidupan sosial masyarakat Indonesia secara relatif sesuai dan memuas­kan. Soalnya memang kebanyakan film Indonesia yang pernah saya tonton dalam hai ini terutama jenis cerita/drama roman dan komedi, mempunyai kecenderungan seperti telah disebut di atas. Dalam hal ini ada dua pola yang menonjol yang saya amati dari film-film Indonesia yang saya anggap kurang berhasil mencerminkan realita kehidupan sosial masyarakat kita.

Pola pertama adalah film yang cenderung menggambarkan suasana permisif, yaitu suasana kehidupan di mana sikap, gaya dan tingkah laku yang melandasi jalan cerita suatu film tampak tidak terikat lagi dengan ukuran-ukuran nilai yang berlaku umum di dalam masyarakat. Suasana yang boieh dikatakan kurang sesuai, kalaulah tidak sama sekali bertentangan, dengan norma-norma umum masyarakat, digambarkan sebagai hal yang biasa-biasa atau boleh-boleh saja. Misalnya, sebuah film komedi yang saya tonton baru-baru ini landasan ceritanya berkisar sekitar suasana tiga orang jejaka dan dua orang gadis yang tinggal bersama di dalam sebuah rumah yang mereka sewa bersama. Meskipun dalam film itu tidak ada adegan ranjang yang hangat, ia seolah-olah memberi kesan kepada penontonnya bahwa hidup bersama dalam satu rumah sewaan bagi jejaka dan gadis yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan adalah lumrah-Iumrah saja, dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan. Secara langsung ataukah tidak langsung film itu telah mengembangkan suasana permisif yang biasanya mempercepat atau mempermudah terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat, memperlunak dan mungkin menjebol kekangan atau relevansi nilai­nilai yang ada dan masih berlaku untuk kemudian diganti oleh nilai­nilai baru yang antara lain terkandung di dalam cerita dan adegan-adegan film itu.

Pola kedua adalah film yang cenderung untuk mencerminkan suasana kehidupan hedonistis, yaitu suasana di mana tujuan kehi­dupan ini terutama adalah untuk bersenang-senang, bermewah­mewah, dan berfoya-foya. Kehidupan seperti itu biasanya diperoleh melalui gelimangan kekayaan materi sehingga memungkinkan seseorang untuk menikmati kesenangan dan kemewahan mengikuti hawa nafsunya. Dalam film seperti ini, sering kita jumpai dalam film cerita/drama roman, suasana rumah mewah, mobil bagus, pakaian mahal, selera budaya asing, pesta pora dan adegan-adegan yang merangsang seks merupakan bagian yang menonjol. Dorongan orang untuk mengikuti nafsu hedonistisnya sering digambarkan dalam film-film yang mengandung pola ini dengan keberaniannya untuk melakukan berbagai macam corak kejahatan dan kekejaman seperti menyelewengkan kekuasaan, melakukan korupsi, melakukan pemerasan. merampok. berjudi dan membunuh.

Memang betul bahwa jalinan cerita secara keseluruhan dari kebanyakan film itu, kalaulah tidak semua, sering dilandasi oleh suatu pesan moral yang baik dan sehat. Umpamanya, bagaimana seseorang yang pernah terjerumus ke dalam lembah kehidupan hitam yang penuh maksiat, kekerasan dan kekejaman guna memenuhi tuntutan gaya hidup hedonistisnya pada akhir cerita film digambarkan betapa dia sangat menyesali itu semua atau betapa mahalnya dia harus membayarnya. Tetapi perlu pula diingat bahwa sebelum sampai pada pesan utama yang terletak di akhir film itu, sebagian besar dari jalan ceritanya menggambarkan banyaknya adegan-adegan yang justru dapat memperkuat tertanamnya selera gaya hidup hedonistis bagi para penontonnya. Terlalu banyak bumbu gaya hidup hedonistis di dalam suatu film mempunyai kemungkinan untuk melemahkan atau melumpuhkan pesan utama yang baik dan sehat yang barangkali mendasari seluruh jalan ceritanya. Dari situ barangkali kita dapat sama-sama melihat salah satu sebab mengapa kebanyakan film nasional kita, dalam hal ini terutama film cerita drama roman, dinilai oleh berbagai pihak sebagai masih kurang berhasil mencerminkan realita kehidupan sosial masyarakat kita.

2.4. Dampak Tayangan Kriminal Dan Kekerasan Di Televisi Terhadap Perubahan Perilaku.

Televisi merupakan media yang dianggap paling mempengaruhi khalayaknya dalam hal penyampaian informasi. Informasi yang diberikan dikemas dalam bentuk sebuah program acara yang dinamakan berita. Permintaan pasar yang tidak pernah surut akan informasi menjadikan berita sebagai program utama di setiap stasiun televisi. Di samping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi, di sisi lain berita juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja yang mudah terbius dan terpengaruh dengan apa yang dilihatnya. Bermula dari adanya tayangan berita di televisi yang kerap memunculkan adegan pornografis, kekerasan, dan hedonisme, maka dibuatlah makalah ini. Lebih jelasnya makalah ini dibuat untuk melihat konten tayangan berita di televisi, lalu dilihat pengaruh tayangan tersebut terhadap perilaku anak-anak dan remaja.

Jenis berita yang berpotensi untuk mengubah perilaku anak-anak dan remaja ke arah negatif adalah depth news yang berisikan berita-berita lebih mendalam dan rinci seperti berita kriminal. Berita kriminal kerap kali menyiarkan tayangan yang mengandung unsur pornografis, kekerasan, dan hedonisme. Hal ini memicu munculnya perubahan perilaku pada anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja yang memiliki intentitas tinggi untuk menonton berita kriminal mulai menyesuaikan hal-hal yang diterimanya dengan realitas sosial. Sehingga pengaruhnya akan cepat diterima pada aspek behavioral yang meliputi tindakan untuk meniru adegan pornografis, kekerasan, dan hedonisme.

Keterlibatan orang tua dalam mengontrol anak mereka dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukannya. Tingkat keterlibatan orang tua yang terlalu sibuk dengan aktivitasnya cenderung rendah dalam proses pengontrolan terhadap tayangan berita yang dikonsumsi oleh anak-anak mereka. Pada makalah ini ditemukan pengaruh tayangan berita di televisi terhadap perilaku anak-anak dan remaja.

Televisi adalah salah satu bentuk teknologi yang dapat memberikan solusi untuk memenuhi tuntutan zaman sekarang. Dibandingkan dengan pendahulunya yaitu surat kabar dan radio, televisi memiliki beberapa kelebihan. Televisi dapat menguasai ruang dan jarak, mencapai sasaran yang sangat luas, memiliki nilai aktualitas terhadap suatu pemberitaan dan informasi yang sangat cepat, serta bersifat audiovisual sehingga meningkatkan daya rangsang dan pemahaman seseorang terhadap informasi yang disajikan (Kuswandi, 1998).

Salah satu program televisi yang tetap menjadi program utama di sebuah stasiun televisi adalah berita. Berita televisi yang merupakan perkembangan dari teknologi modern, merujuk pada praktek penyebaran informasi mengenai peristiwa terbaru melalui media televisi. Acara berita bisa berlangsung dari beberapa detik hingga beberapa jam dengan menyajikan perkembangan terbaru peristiwa-peristiwa lokal/regional maupun internasional. Stasiun televisi biasanya menyajikan program berita sebagai bagian dari acara berkalanya, dan disiarkan setiap hari pada waktu-waktu tertentu. Kadang-kadang acara televisi juga bisa diselipi dengan ‘berita sekilas’ untuk memberikan laporan mutakhir mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi atau berita dadakan lain yang penting.

Media massa mempunyai fungsi sebagai saluran informasi, saluran pendidikan dan hiburan. Namun juga pada kenyataannya media massa juga mempunyai fungsi lainnya yakni dapat mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat bahkan dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat (Burhan Bungin (2006: 315).

Efek media dapat pula mempengaruhi seseorang dalam jangka pendek sehingga cepat mempengaruhi mereka, juga memberi efek dalam waktu yang lama sehingga memberi dampak pada perubahan-perubahan dalam waktu yang lama. Pemberitaan tayangan kriminal dan kekerasan di televisi seperti Patroli, Sergap, Buser dan sebagainya sekilas dalam waktu pendek tidak memberikan masalah, orang yang menonton tidak akan secara langsung melakukan apa yang mereka tonton. Namun dalam jangka panjang, tanpa disadari dengan menonton tayangan-tayangan tersebut semacam memberikan “jalan keluar” yang tidak dikehendaki dari permasalahan yang mereka hadapi.

Dunia teknologi yang semakin canggih bagaikan koin yang memiliki dua sisi berlawanan. Selain dapat menimbulkan dampak positif seperti memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi, juga dapat membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat. Lapisan masyarakat yang paling mudah terbius dan terpengaruh dengan apa yang dilihatnya adalah anak-anak dan remaja. Marwan[1] (2008) menyatakan bahwa: “Usia anak-anak dan remaja merupakan masa labil seseorang. Dimana pada saat itu timbul rasa ingin menunjukkan diri “ini aku”. Oleh karena itu sikap meniru pada kalangan remaja merupakan suatu bentuk dari masa pubertas yang dialami oleh keadaan jiwa yang masih labil”. Artinya jika mereka tidak dapat mengontrol diri dengan baik dan apabila waktu luang tidak dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, maka perbuatan iseng dan kenakalan lainnya mudah sekali terjadi.

Media massa khususnya televisi swasta saat ini berlomba lomba untuk merebut perhatian pemirsa. Tayangan kekerasan dan kriminal tampaknya mendapat respon yang cukup banyak dari penonton, terbukti dengan banyaknya acara yang ditayangkan di televisi di stasiun yang berlainan misalnya Patroli, Derap Hukum, Sidik Kasus, Buser, Tangkap, Tikam dan lainnya seakan berlomba merebut perhatian pemirsa.

Kriminal dan kekerasan di media massa dapat mulai disaksikan seperti di film kekerasan, tayangan mistik dan kekerasan seperti yang telah disebutkan diatas. Kekerasan di media massa bisa muncul secara fisik maupun verbal seperti kata-kata kasar sampai penayangan rekonstruksi kekerasan. Bentuk kekerasan dan sadisme media massa dengan modus yang sama lebih banyak menonjolkan kengerian dan keseraman daripada tujuan pemberitaan itu sendiri yakni penyebarluasan informasi.

Kekerasan di media massa terdiri dari beberapa macam seperti :

- kekerasan terhadap diri sendiri (bunuh diri, meracuni diri sendiri)

- kekerasan terhadap orang lain (menganiaya sampai membunuh)

- kekerasan kolektif (main hakim sendir, perkelahian massal, komplotan)

- kekerasan dalam skala yang lebih besar (peperangan, terorisme)

Dalam waktu yang lama tentunya tayangan kriminal dan kekerasan tersebut dapat mempengaruhi pola pikir anak. Dapat terjadi pola pikir imitasi yang kadang menjurus kepada meniru hal-hal yang buruk dari apa yang ia dengar dan lihat dari televisi.

Akhir-akhir ini banyak sekali tayangan di televisi yang menayangkan kriminal dan kekerasan dimana jam penayangannya masih pada jam yang memungkinkan untuk ditonton oleh anak-anak. Disamping itu tayangan sinetron dan film pada “prime time” juga banyak yang menampilkan unsur-unsur kekerasan baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak. Tayangan tersebut sedikit banyak dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak.

Anak-anak terutama usia sekolah sangat rawan terhadap pengaruh tayangan ini. Pemilihan jam tayang yang kurang sesuai saat ini menyebabkan mereka dengan mudah mengakses tayangan ini. Anak-anak tersebut cenderung untuk meniru saja apa yang mereka lihat tanpa memikirkan apa akibat yang timbul.

Efek yang mungkin timbul antara lain :

1. Tahap satu : merusak sistem perilaku individu dan kelompok

2. Tahap dua : merusak sikap dan sistem kepribadian dan sistem budaya, sosial yang lebih luas.

Tayangan tersebut, bagi anak-anak tentunya belum dapat memilah tayangan yang seharusnya tidak mereka tonton karena tayangan tersebut tidak baik bagi perkembangan jiwa dan kepribadian mereka. Tugas orang tua-lah untuk mendampingi anak-anak mereka untuk memastikan apa yang mereka tonton sesuai dengan perkembangan kepribadian.

Bagi media massa khususnya televisi agar persaingan yang tidak sehat diantara mereka tidak mengorbankan idealisme dengan menyajikan pemberitaan yang justru dapat memicu tindak pelanggaran norma dan hukum.

2.5. Alasan Tayangan Berita Berpengaruh Terhadap Perubahan Perilaku

1. Jenis-jenis Berita

Kini ada beragam pilihan sajian berita yang dapat dipilih oleh para pengonsumsi program berita di televisi. Berita yang disajikan di televisi terdiri atas tiga jenis, yaitu: hard news, depth news, dan feature news. Hard news adalah berita mengenai hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan masyarakat dan harus segera diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, di televisi, hard news biasanya disiarkan pada prime time. Depth news berisikan berita-berita yang lebih mendalam dan rinci, sedangkan feature news adalah berita yang menghibur, namun tetap terkait dengan hal-hal yang menjadi pusat perhatian dan mengandung informasi.

2. Konten Tayangan Berita dan Pengaruhnya

Hard news merupakan berita yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Berita yang disajikan sangat erat dengan realitas sosial yang terjadi. Contoh dari hard news adalah berita kriminal yang kontennya sedikit banyak mengandung unsur pornografis, kekerasan, dan hedonisme. Dengan adanya hal tersebut para anak-anak dan remaja dapat terjerumus pada hal-hal yang kurang baik. Anak-anak dan remaja yang gemar menyaksikan dan terpengaruh dengan tayangan berita tersebut adalah anak-anak yang ingin mencari sensasi di lingkungannya. Anak-anak dan remaja inilah yang paling rawan melakukan berbagai pelanggaran, karena mereka mudah terpengaruh dan ingin mencari sensasi di lingkungan pergaulan agar dapat disebut sebagai remaja yang gaul.

Telah dijelaskan tentang pengaruh media massa yaitu televisi bersifat langsung dan segera yang menganut teori pengaruh media satu langkah. Teori ini berpendapat bahwa pesan masuk hanya dalam satu langkah yaitu dari televisi ke pemirsa. Sebagai akibatnya, pemirsa mengubah pemikiran dan perilaku mereka sesuai dengan apa yang ditayangkan oleh televisi. Begitu pula dengan anak-anak-anak dan para remaja yang menyaksikan tayangan berita di televisi.

Pada saat tayangan berita yang mengandung unsur pornografis disiarkan di televisi, anak-anak dan remaja merasa tertarik dengan tayangan tersebut. Alasannya karena berita tersebut menunjukkan sifat sensualitas yang dapat mengakibatkan mereka melakukan pergaulan yang menyimpang. Contohnya, gaya berpacaran yang sudah melampaui batas hingga menimbulkan seks bebas di kalangan remaja yang pada akhirnya banyak diantara remaja-remaja yang menikah di usia muda. Selain itu juga dapat menimbulkan pemerkosaan dan pencabulan di kalangan remaja. Ketika tayangan kekerasan disiarkan pada berita di televisi, anak-anak dan remaja yang pola pikirnya masih labil dan emosional cenderung untuk melakukan perilaku yang kasar dan tidak sopan baik kepada teman, guru, bahkan orangtua mereka sekalipun. Program berita di televisi juga kerap kali menayangkan berita mengenai minuman keras, narkotika, dan obat-obatan terlarang yang memicu keingintahuan anak-anak dan remaja untuk mencobanya. Generasi hedonis akan tercipta manakala mereka mengonsumsi minuman keras, narkotika, dan obat-obatan terlarang.

Meskipun banyak anak-anak dan para remaja yang terjerumus pada hal-hal yang kurang baik namun tidak semua remaja terpengaruh oleh tayangan berita di televisi yang menyimpang tersebut. Diantara para anak-anak dan remaja tersebut, pasti juga ada yang mengambil sisi positif dari tayangan yang disiarkan. Sebagian dari mereka jadi tidak berani melakukan hal-hal negatif seperti bergaya sensual, bersikap kasar, suka mencari keributan, dan menghindari minuman keras, narkotika, dan obat-obatan terlarang.

BAB III

KESIMPULAN

Komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam proses komunikasi terdapat pertukaran informasi. Media massa yang dianggap paling mempengaruhi khalayaknya dalam hal penyampaian informasi adalah televisi. Kehadiran televisi dalam kehidupan manusia memunculkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan penyebaran informasi yang bersifat massal dan menghasilkan suatu efek sosial yang berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial dan budaya manusia. Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa menunjukkan bahwa media tersebut telah menguasai jarak secara geografis dan sosiologis (Kuswandi, 1998).

Program siaran televisi di Indonesia pada umumnya diproduksi oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Stasiun televisi dapat memilih program yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang iklan, sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraih keuntungan dari produksinya. Pada umumnya isi program siaran di televisi meliputi acara seperti berita, dialog interaktif, program pedesaan, periklanan, kesenian dan budaya, film, sinetron, pendidikan, kuis, komedi, dan lain-lain.

Televisi merupakan media yang dianggap paling mempengaruhi khalayaknya dalam hal penyampaian informasi. Informasi yang diberikan dikemas dalam bentuk sebuah program acara yang dinamakan berita. Permintaan pasar yang tidak pernah surut akan informasi menjadikan berita sebagai program utama di setiap stasiun televisi. Di samping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi, di sisi lain berita juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja yang mudah terbius dan terpengaruh dengan apa yang dilihatnya. Bermula dari adanya tayangan berita di televisi yang kerap memunculkan adegan pornografis, kekerasan, dan hedonisme, maka dibuatlah makalah ini. Lebih jelasnya makalah ini dibuat untuk melihat konten tayangan berita di televisi, lalu dilihat pengaruh tayangan tersebut terhadap perilaku anak-anak dan remaja.

Berbagai jenis program siaran tersebut tidak mutlak harus ada semuanya. Acara-acara tersebut sangat bergantung dari kepentingan masing-masing stasiun penyiaran televisi yang bersangkutan. Namun berita selalu menjadi program utama di setiap stasiun televisi. Berita termasuk program siaran yang senantiasa diminati oleh masyarakat karena mengandung berbagai informasi yang aktual dan faktual, baik dalam cakupan nasional, regional maupun internasional. Mitchel V. Charnley dalam bukunya yang berjudul Reporting edisi III (Holt-Reinhart & Winston, New York, 1975, halaman 44) dalam Muda (2005) menyatakan bahwa: “Berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi masyarakat luas”. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan minat pemirsa sebanyak mungkin dengan bobot peristiwa yang didasarkan terhadap eksklusivitas, keistimewaan, atau ruang lingkupnya.

Informasi yang diperoleh melalui siaran televisi dapat mengendap dalam daya ingatan manusia lebih lama dibandingkan dengan perolehan informasi yang sama tetapi melalui media lain. Alasannya karena informasi yang diperoleh melibatkan dua indera yaitu pendengaran (audio) dan penglihatan (visual) sekaligus secara stimultan pada saat yang bersamaan. Kemudian gambar yang disajikan melalui siaran televisi merupakan pemindahan bentuk, warna, ornamen, dan karakter yang sesungguhnya dari objek yang divisualisasikan (Muda, 2005).

Kini tayangan berita di televisi semakin banyak dan berkembang sehingga menyebabkan pihak stasiun televisi berlomba-lomba untuk menyajikan kemasan berita yang eksklusif dan istimewa agar diminati masyarakat. Berita yang disajikan terdiri atas tiga jenis, yaitu: hard news, depth news, dan feature news. Hard news adalah berita mengenai hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan masyarakat dan harus segera diketahui oleh masyarakat, seperti kasus kriminal.

Siaran berita kriminal di televisi kerap kali menayangkan berita-berita yang mengandung unsur pornografis, kekerasan, hedonisme, dan sebagainya yang ditampilkan di layar kaca. Berita tersebut disaksikan oleh berbagai lapisan masyarakat, diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Mereka masih belum dapat memilih dan memilah mana tayangan yang seharusnya patut dicontoh dan tidak. Tayangan berita yang demikian dapat mempengaruhi perilaku anak-anak dan remaja yang notabene masih berjiwa labil. Maka, orangtua dituntut untuk memiliki andil besar dalam mengontrol perubahan yang terjadi pada anak-anak dan remaja karena akan berakibat terjadinya budaya kontemporer (kekinian) yang sifatnya lebih kepada imitasi atau meniru.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1986. Transformasi Budaya Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).

Danim, Sudarwan. 1994. Transformasi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.

Kuntowijoyo, Dr. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.

Lauer, Robert H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

( 0 komentar:

Posting Komentar